Kekuatan Udara yang Memprihatinkan
Pada tanggal 29 September 1945 tentara Inggirs (Sekutu) tiba di Indonesia dan mendarat di Pelabuhan Tanjung Priok. Pendaratan Inggirs di Indonesia ini, menyertakan pula aparat Belanda atau Netherlands Indies Civil Administration (NICA), yang ingin kembali berkuasa dan menjajah Indonesia. Namun Rakyat Indonesia tidak ingin lagi menjadi bangsa yang terjajah, rakyat Indonesia bangkit melawan tentara Sekutu dan NICA menggunakan senjata rampasan dari Jepang dan senjata tradisional yang ada.
Pertempuran berkobar dimana-mana, ibukota kolonial Batavia berhasil diduduki Belanda, akibatnya para nasionalis memindahkan ibukota dan pusat pemerintahan di Yogyakarta.
Bersamaan dengan masuknya Sekutu dan NICA di Indonesia, seluruh kekuatan udara Republik Indonesia merupakan pesawat-pesawat peninggalan Jepang, yang tersebar dibeberapa pangkalan udara, seperti Maguwo, Bugis dan Andir. Jenis-jenis pesawat yang ditinggalkan Jepang terdiri dari berbagai jenis pesawat, yaitu jenis pesawat latih Nishikoreng, Cukiu dan Cureng, pesawat pemburu Hayabusha dan Sansikishin, pesawat pembom Guntai dan Sakai, serta pesawat pengintai Nakajima.
Kondisi pesawat peninggalan Jepang tersebut, semuanya dalam keadaan rusak hanya beberapa saja yang masih kelihatan utuh.
Setelah Belanda melancarkan agresinya, fasilitas penerbangan dan pesawat-pesawat yang telah diperbaiki oleh para tehnisi Angkatan Udara Republik Indonesia berhasil dihancurkan Belanda, bahkan beberapa pangkalan udara berhasil dikuasai oleh Belanda. Meskipun demikian, kenyataan tersebut tidak mengendorkan semangat para pendahulu TNI Angkatan Udara, justru menjadi motivasi untuk terus berjuang dalam mempertahankan kemerdekaan. Dengan berbekal empat pesawat yang tersisa di pangkalan udara Maguwo, para pendahulu TNI Angkatan Udara melakukan perlawanan dan melancarkan serangan balik terhadap daerah-daerah yang berhasil diduduki Belanda.
Gagasan untuk melakukan pembalasan lewat udara terhadap kedudukan Belanda, menjadi pemikiran utama para pemimpin Angkatan Udara, terutama bentuk tindakan balasan yang akan dilaksanakan, karena kesiapan pesawat yang ada tidak memadai, dan kemampuan terbang operasional para kadet penerbang saat itu terbatas pada penerbangan pengintaian. Atas dasar itu, maka Komandan Sekolah Penerbang Komodor Muda Udara A. Adisutjitpo, merasa sayang kalau para penerbang muda ini “gugur”, beliau menginginkan agar mereka lebih dulu ditingkatkan kecakapan terbangnya untuk mampu menerbangkan pesawat tempur, bahkan tercetus kata-kata beliau bahwa andai kata harus mengadakan serangan balas akan dilakukan oleh beliau sendiri.
Gagasan beliau tersebut disampaikan sebelum berangkat ke luar negeri.
Tetapi situasi waktu yang sangat mendesak untuk melakukan serangan balasan, maka setelah Komodor Muda Udara Adisutjipto dan rombongannya berangkat melaksanakan missinya ke luar negeri, para teknisi di Maguwo secara diam-diam sibuk dengan melaksanakan modifikasi dan mengadakan pemeriksaan beberapa pesawat terbang seperti Hayabusha, Cureng dan Guntai. Pesawat-pesawat tersebut dipersiapkan untuk dijadikan pesawat pembom, kegiatan tersebut memang sangat dirahasiakan.
Dibawah pimpinan Basir Surya, para teknisi memeriksa dan memperbaiki pesawat-pesawat yang dapat dipersiapkan untuk melaksanakan misi operasi. Sedangkan pada bidang teknik persenjataan dipimpin oleh Opsir Muda Udara I Eddie Sastrawidjaja. Sementara itu pimpinan Angkatan Udara Komodor Udara S. Suryadarma dan Komodor Muda Udara Halim Perdanakusuma mengadakan rapat-rapat tertutup.
Sejalan dengan proses penyiapan pesawat oleh para tehnisi AURI, pada tanggal 28 Juli 1947 lebih kurang pukul 19.00, seorang kurir ke Mess Perwira di Wonocatur yang membawa perintah KSAU yang ditujukan kepada empat orang kadet AURI, yaitu Kadet Penerbang Mulyono, Sutardjo Sigit, Suharnoko Harbani, dan Bambang Saptoadji agar menghadap Komodor Udara S. Suryadarma dan Komodor Muda Udara Halim Perdanakusuma.
Panggilan yang sangat dirahasikan itu menyangkut rencana operasi udara yang akan ditugaskan kepada keempat penerbang tersebut. Rencana operasi ini disampaikan sendiri oleh Komodor Muda Udara Halim Perdanakusuma selaku Perwira Operasi dengan penjelasan-penjelasan seperlunya. Operasi udara itu berupa pengeboman atas kota-kota yang menjadi kubu musuh di Jawa Tengah. Pelaksanaannya tidak bersifat perintah tetapi sukarela, namun demikian tidak ada seorang pun dari para penerbang itu yang menolak tawaran tersebut.
Pada kesempatan itu, ditunjuk pula para penembak udaranya (air gunner). Mereka adalah Kaput, Dulrachman dan Sutardjo. Ketiga air gunner tersebut merupakan teknisi berpangkat Bintara, yang belum pernah mendapat pendidikan “gunnery” dari AURI.
Modal utama mereka adalah keberanian dan bersedia untuk berkorban dalam mempertahankan kemerdekaan Bangsa Indonesia.
Pada pertemuan tersebut, KMU Halim Perdanakusuma menjelaskan secara rinci rencana penyerangan kedudukan Belanda di Semarang dan Salatiga, yaitu :
1. Kadet Udara I Mulyono ditugaskan menyerang Semarang yang disertai penembak udara Sersan Udara Dulrachman menggunakan pesawat pembom tukik Guntei.
2. Kadet Udara I Bambang Saptoadji ditugaskan mengawal pesawat pembom Guntei menggunakan pesawat Hayabusha.
3. Kadet Udara I Sutardjo Sigit didampingi penembak udara Sersan Udara Sutardjo dan Kadet Penerbang Suharnoko Harbani didampingi penembak udara Sersan Udara Kaput menyerang Salatiga menggunakan pesawat Cureng.
Sasaran pemboman dan tembakan ditentukan hanya pada kedudukan dan markas militer lawan, penerbangan yang dilaksanakan harus menghindari Boyolali, karena pasukan Belanda telah masuk ke daerah tersebut. Di samping itu, para penerbang tidak diperbolehkan untuk terbang langsung menuju sasaran, tetapi harus membuat dog-leg, yaitu terbang ke arah timur, baru kemudian belok ke kiri menuju sasaran, dengan tetap memperhatikan taktik pendadakan. Penyerangan akan dilaksanakan sedini hari mungkin, selama kurang lebih satu jam, untuk menghindari penyergapan dan pengejaran lawan.
Apabila serangan selesai, para penerbang diinstruksikan untuk segera kembali ke Maguwo, dengan tree top level (terbang serendah mungkin) dan hedge-hopping. Teknik ini dimaksudkan untuk mengurangi ruang gerak pesawat musuh yang jauh lebih tinggi kecepatanya, apa bila mereka mengejar dan mau menyergap.
Selesai briefing, mereka bergabung dengan para tehnisi pesawat yang sedang berusaha memperbaiki dan mempersenjatai pesawat yang akan digunakan.
Untuk melengkapi persenjataan Guntei, para teknisi tidak mengalami kesulitan, karena pesawat jenis ini termasuk pesawat tempur. Pesawat pembom Guntei yang berhasil diperbaiki mampu membawa bom seberat 400 kg. di samping itu, juga dipasang sebuah senapan mesin yang diletakan di belakang penerbang.
Sedangkan pada pesawat Cureng, para teknisi harus bekerja keras, karena pesawat ini digunakan sebagai pesawat latih. Berkat ketekunan para tehnisi, pesawat cureng berhasil dimodifikasi menjadi pesawat pembom, dengan menempatkan sebuah bom seberat 50 kg di bawah kedua sayapnya.
Untuk melepaskan bom-bom tersebut, disebelah kiri tempat duduk penerbang dibasang tiga buah handle (pegangan) yang terbuat dari kayu dengan warna yang berbeda-beda. Yang kiri warna Merah untuk melepaskan bom di bawah sayap kiri, yang tengah warna Kuning untuk melepaskan kedua bom sekaligus, yang kanan berwarna Hijau untuk melepaskan di bawah sayap kanan.
Selain dilengkapi bom, pesawat Cureng dilengkapi pula dengan senapan mesin.
Dari kedua pesawat Cureng yang disiapkan, hanya satu pesawat yang bisa dipasang senapan mesin, karena satu pesawat Cureng yang akan diawaki Sutardjo Sigit tidak ada tempat kedudukan (mounting)-nya untuk memasang senapan mesin, sehingga pesawat ini sama sekali tidak dapat membela diri apabila disergap musuh. Sebagai gantinya, pesawat Cureng tersebut diberi bom-bom bakar yang dibungkus dengan kain Blacu.
Sedangkan pesawat Hayabusha tidak jadi digunakan, karena adanya kerusakan pada system persenjataanya. Meskipun para juru teknik telah berusaha dengan bekerja keras sampai pukul 01.00 dini hari tanggal 29 Juli 1947, kerusakan pada sistim persenjataan pesawat Hayabusha belum juga dapat diatasi. Dengan demikian Kadet Penerbang Bambang Saptoadji merasa sangat kecewa.
Setibanya di Mess Wonocatur tempat mereka disiagakan penuh, Ia mendatangi ketiga kadet penerbang lainnya untuk dibujuk agar salah seorang bersedia diganti. Mereka tidak mau melepaskan tugas yang telah dipercayakan pada pundak masing-masing.
Sebelum melaksanakan misi operasi penyerangan, ketiga kadet penerbang hanya diberi kesempatan untuk beristirahat sekitar 2 jam. Pada pukul 03.00 dini hari, mereka dibangunkan dan pukul 04.00 sudah harus siap di lapangan terbang Maguwo untuk menerima briefing dari kepala teknisi Bapak Sudjono, yang sebelumnya tidak mengetahui akan adanya serangan balas AURI terhadap Belanda. Bapak Sudjono menjelaskan tentang tugas yang akan dilakukan para teknisi setelah pesawat kembali dari melakukan penyerangan. Briefing berikutnya adalah dari Meteo yang dilakukan oleh Bapak Patah dengan menggunakan peta yang dipakai di sekolah dasar yang memberikan gambaran mengenai kabut rendah, angin tenang dan lainya. Sedangkan mengenai kesiapan pemadam kebakaran diberikan oleh Bapak Djunaedi.
Pada pukul 05.00, ketiga pesawat mulai taxi-out ke posisi take-off, yang sebelumnya dilepas oleh KSAU Komodor Udara S. Suryadarma dan Komodor Muda Udara Halim Perdanakusuma. Ketiga pesawat take off secara bergantian, Pesawat Guntei yang diterbangkan oleh Mulyono dan Dulrachman sebagai "air-gunner" terbang terlebih dahulu. Kemudian disusul pesawat Chureng yang dikemudikan oleh Sutardjo Sigit yang dibantu Sutardjo sebagai "air-gunner".
Selanjutnya Suharnoko Harbani dengan Kaput juga menggunakan pesawat Chureng merupakan pesawat yang terakhir mengangkasa.
Untuk membantu tinggal landas, dipasang sebuah lampu sorot pada ujung landasan di belakang pesawat, maksudnya agar mendapat cukup penerangan. Dengan demikian landasan bisa nampak terang oleh sorot lampu tersebut dan memberi sedikit keuntungan bagi pilot untuk menentukan batas pesawat baru mulai mengudara. Mereka tidak diperkenankan menggunakan lampu dan peralatan lain dalam pesawat untuk menjaga kerahasiaan operasi yang sedang dilaksanakan.
Ketiga pesawat tidak dibekali peralatan navigasi dan komunikasi, masing-masing kru pesawat hanya dibekali senter yang berfungsi sebagai alat komunikasi apa bila diperlukan. Walaupun para penerbang ini belum berpenglaman terbang malam, dengan penuh ketekunan dan kewaspadaan mereka bergiliran meninggalkan landasan terbang Maguwo secara lancar.
Sumber:
TNI AU