Nuklir Indonesia dan Dunia,
Edited and Add By:
Arip Nurahman
Department of Physic Faculty of Sciences and Mathematics
Indonesia University of Education
Arip Nurahman
Department of Physic Faculty of Sciences and Mathematics
Indonesia University of Education
Pembangunan instalasi reaktor nuklir sebagai pembangkit listrik masih merupakan sebuah wacana yang menciptakan geliat dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Penerimaan masyarakat stagnan dalam tahap antiklimaks terhadap adanya reaktor nuklir di Indonesia.
Paradigma nuklir dalam benak masyarakat Indonesia lekat dengan terorisme atau senjata pemusnah massal yang sangat berbahaya. Seiring melonjaknya populasi manusia, maka kebutuhan energi untuk keberlangsungan hidup manusia itu menjadi alasan pokok untuk menggunakan energi nuklir. Di sisi lain, bukanlah hal yang mudah untuk merumuskan aktualisasi diri nuklir sebagai sumber energi alternatif yang ramah lingkungan untuk menghadapi perubahan iklim yang telah menerpa seluruh belahan dunia.
reaktor
Pintu masuk nuklir
Tahun 1973, negara-negara Timur Tengah melakukan embargo minyak bumi yang mengakibatkan terjadinya krisis energi dan melonjaknya harga minyak bumi OPEC. Peristiwa ini telah membuka mata masyarakat dunia untuk mengurangi esensi penggunaan minyak bumi sebagai energi utama. Kemudian muncul rasa takut masyarakat dunia akan ketersediaan energi di masa depan. Layaknya kuda yang berlari kencang akibat dicambuk oleh sang kusir, beberapa belahan negara di dunia melakukan berbagai penelitian untuk mengeksplorasi sumber-sumber energi alternatif yang masih melimpah di alam. Berbagai sumber energi alternatif seperti energi matahari, angin, batubara,biomassa, air, dan nuklir menjadi proyek terdepan dalam penelitian pada saat itu [Spurgeon, 1987].
Pada awalnya, berbagai penelitian diatas menjadikan aspek ekonomi sebagai entitas utamanya. Namun pada tanggal 28 Maret 1979 terjadi kecelakaan reaktor nuklir yang relatif kecil di Three Mile Island (TMI), AS, yang mengakibatkan reaktor terlalu panas dan akhirnya meleleh (meltdown reactor). Sejak itu, kesadaran masyarakat dunia untuk menciptakan suatu dunia dengan lingkungan yang bersih dan terbentuknya pembangunan yang berkelanjutan mulai terbuka.
Beberapa tahun kemudian, negara-negara maju seperti AS, Perancis, Jepang dan Rusia tengah beradu cepat guna menciptakan reaktor nuklir yang aman dan memiliki efisiensi yang tinggi. Kemudian pada tanggal 25-26 April 1986 terjadi kecelakaan terbesar dalam sejarah reaktor nuklir dunia yang terjadi di Chernobyl, Uni Sovyet (sekarang Rusia). Dalam kecelakaan ini 135000 jiwa terlibat secara langsung, 24403 jiwa diantaranya divonis terkena radiasi yang cukup berat dan 31 jiwa meninggal. Peristiwa ini menjadi titik balik dari era keemasan teknologi nuklir pada saat itu. Dalam survei yang dilakukan beberapa tahun setelah kejadian ini, ditemukan bahwa pihak oposisi telah meningkat dari 26% menjadi 42% dan pihak pendukung telah menurun dari 57% menjadi 49%. Secara tidak langsung, kejadian ini mengakibatkan paradigma masyarakat dunia terhadap teknologi nuklir merupakan sesuatu yang tidak menghargai nilai kemanusiaan.
Pertanyaannya, apa yang dilakukan oleh negara-negara maju yang sedang mengembangkan teknologi nuklirnya setelah kejadian ini? Mereka menyatakan bahwa akan berusaha menciptakan teknologi nuklir yang lebih baik dan aman. Bahkan Uni Sovyet menyatakan, bahwa kecelakaan ini justru akan menjadi batu penjuru untuk memulai industri nuklir yang baru dan lebih aman. Dengan kata lain, kecelakaan ini hanya sedikit menunda perkembangan teknologi nuklir dunia dan dalam waktu bersamaan menegaskan bahwa segi keamanan manusia adalah pokok terdepan dalam rancangan instalasi sebuah reaktor nuklir. Hasilnya, empat negara maju diatas merupakan negara terdepan dalam bidang teknologi nuklir. Data tanggal 8 Agustus 2007 menunjukan, AS memiliki 104 reaktor, Perancis 59 reaktor, Jepang 55 reaktor, dan Rusia 31 reaktor nuklir yang rutin beroperasi setiap harinya untuk menyuplai energi listrik. Bahkan 76,4% energi listrik di Perancis diperoleh dari energi nuklir. Secara implisit, kecelakaan di Chernobyl telah membawa pengaruh positif terhadap keseluruhan industri nuklir.
Implementasi nuklir di Indonesia
Sejak tahun 1987, pemerintah Indonesia telah mengembangkan program persiapan industri nuklir di kawasan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek), Serpong, melalui pembangunan berbagai jenis instalasi nuklir. Tetapi kegiatan nuklir di Indonesia hingga saat ini belum mengalami kemajuan yang signifikan. Saat ini industri nuklir di Indonesia masih terbatas pada riset dan aplikasi radiasi serta radioisotop dalam dunia kedokteran. Dengan kata lain, Indonesia belum memanfaatkan teknologi nuklir sebagai pembangkit energi listrik yang efisien.
Saat ini, Indonesia masih mengandalkan batu bara sebagai energi alternatif yang utama selain minyak bumi. Pemakaian batu bara untuk suatu PLTU memang memenuhi faktor ekonomi, karena biaya operasionalnya memang murah. Tetapi dibalik itu terdapat bahaya laten seperti gas-gas polutan (SO2, CO2, dan NOX) yang dihasilkan dari proses pembakaran batu bara sebagai pembangkit energi.
PLTN merupakan solusi yang tepat untuk memenuhi kebutuhan energi di Indonesia. Karena jika ditinjau dari besarnya energi, 1 kg bahan bakar nuklir U235 dapat melepaskan energi sebesar 2,5 Terra Joule (1 Terra Joule = 1012 W.s) energi ini setara dengan pembakaran 2,4 juta kg batu bara tanpa menimbulkan emisi gas-gas polutan yang berbahaya bagi kehidupan manusia. Dengan energi sebesar ini, 10% kebutuhan energi listrik Jawa-Bali dapat terpenuhi kurang lebih selama 3 tahun tanpa henti.
Dalam pandangan global, energi nuklir tidak mungkin hilang dari dunia ini, sampai suatu saat ditemukan energi alternatif baru yang lebih aman dan ekonomis, nuklir tetap memegang peranan penting dalam bidang energi. Hanya sekarang mampukah bangsa ini mengundangnya untuk mencegah krisis energi? Jawabannya ada dalam hati tiap masyarakat Indonesia.
Paradigma nuklir dalam benak masyarakat Indonesia lekat dengan terorisme atau senjata pemusnah massal yang sangat berbahaya. Seiring melonjaknya populasi manusia, maka kebutuhan energi untuk keberlangsungan hidup manusia itu menjadi alasan pokok untuk menggunakan energi nuklir. Di sisi lain, bukanlah hal yang mudah untuk merumuskan aktualisasi diri nuklir sebagai sumber energi alternatif yang ramah lingkungan untuk menghadapi perubahan iklim yang telah menerpa seluruh belahan dunia.
reaktor
Pintu masuk nuklir
Tahun 1973, negara-negara Timur Tengah melakukan embargo minyak bumi yang mengakibatkan terjadinya krisis energi dan melonjaknya harga minyak bumi OPEC. Peristiwa ini telah membuka mata masyarakat dunia untuk mengurangi esensi penggunaan minyak bumi sebagai energi utama. Kemudian muncul rasa takut masyarakat dunia akan ketersediaan energi di masa depan. Layaknya kuda yang berlari kencang akibat dicambuk oleh sang kusir, beberapa belahan negara di dunia melakukan berbagai penelitian untuk mengeksplorasi sumber-sumber energi alternatif yang masih melimpah di alam. Berbagai sumber energi alternatif seperti energi matahari, angin, batubara,biomassa, air, dan nuklir menjadi proyek terdepan dalam penelitian pada saat itu [Spurgeon, 1987].
Pada awalnya, berbagai penelitian diatas menjadikan aspek ekonomi sebagai entitas utamanya. Namun pada tanggal 28 Maret 1979 terjadi kecelakaan reaktor nuklir yang relatif kecil di Three Mile Island (TMI), AS, yang mengakibatkan reaktor terlalu panas dan akhirnya meleleh (meltdown reactor). Sejak itu, kesadaran masyarakat dunia untuk menciptakan suatu dunia dengan lingkungan yang bersih dan terbentuknya pembangunan yang berkelanjutan mulai terbuka.
Beberapa tahun kemudian, negara-negara maju seperti AS, Perancis, Jepang dan Rusia tengah beradu cepat guna menciptakan reaktor nuklir yang aman dan memiliki efisiensi yang tinggi. Kemudian pada tanggal 25-26 April 1986 terjadi kecelakaan terbesar dalam sejarah reaktor nuklir dunia yang terjadi di Chernobyl, Uni Sovyet (sekarang Rusia). Dalam kecelakaan ini 135000 jiwa terlibat secara langsung, 24403 jiwa diantaranya divonis terkena radiasi yang cukup berat dan 31 jiwa meninggal. Peristiwa ini menjadi titik balik dari era keemasan teknologi nuklir pada saat itu. Dalam survei yang dilakukan beberapa tahun setelah kejadian ini, ditemukan bahwa pihak oposisi telah meningkat dari 26% menjadi 42% dan pihak pendukung telah menurun dari 57% menjadi 49%. Secara tidak langsung, kejadian ini mengakibatkan paradigma masyarakat dunia terhadap teknologi nuklir merupakan sesuatu yang tidak menghargai nilai kemanusiaan.
Pertanyaannya, apa yang dilakukan oleh negara-negara maju yang sedang mengembangkan teknologi nuklirnya setelah kejadian ini? Mereka menyatakan bahwa akan berusaha menciptakan teknologi nuklir yang lebih baik dan aman. Bahkan Uni Sovyet menyatakan, bahwa kecelakaan ini justru akan menjadi batu penjuru untuk memulai industri nuklir yang baru dan lebih aman. Dengan kata lain, kecelakaan ini hanya sedikit menunda perkembangan teknologi nuklir dunia dan dalam waktu bersamaan menegaskan bahwa segi keamanan manusia adalah pokok terdepan dalam rancangan instalasi sebuah reaktor nuklir. Hasilnya, empat negara maju diatas merupakan negara terdepan dalam bidang teknologi nuklir. Data tanggal 8 Agustus 2007 menunjukan, AS memiliki 104 reaktor, Perancis 59 reaktor, Jepang 55 reaktor, dan Rusia 31 reaktor nuklir yang rutin beroperasi setiap harinya untuk menyuplai energi listrik. Bahkan 76,4% energi listrik di Perancis diperoleh dari energi nuklir. Secara implisit, kecelakaan di Chernobyl telah membawa pengaruh positif terhadap keseluruhan industri nuklir.
Implementasi nuklir di Indonesia
Sejak tahun 1987, pemerintah Indonesia telah mengembangkan program persiapan industri nuklir di kawasan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek), Serpong, melalui pembangunan berbagai jenis instalasi nuklir. Tetapi kegiatan nuklir di Indonesia hingga saat ini belum mengalami kemajuan yang signifikan. Saat ini industri nuklir di Indonesia masih terbatas pada riset dan aplikasi radiasi serta radioisotop dalam dunia kedokteran. Dengan kata lain, Indonesia belum memanfaatkan teknologi nuklir sebagai pembangkit energi listrik yang efisien.
Saat ini, Indonesia masih mengandalkan batu bara sebagai energi alternatif yang utama selain minyak bumi. Pemakaian batu bara untuk suatu PLTU memang memenuhi faktor ekonomi, karena biaya operasionalnya memang murah. Tetapi dibalik itu terdapat bahaya laten seperti gas-gas polutan (SO2, CO2, dan NOX) yang dihasilkan dari proses pembakaran batu bara sebagai pembangkit energi.
PLTN merupakan solusi yang tepat untuk memenuhi kebutuhan energi di Indonesia. Karena jika ditinjau dari besarnya energi, 1 kg bahan bakar nuklir U235 dapat melepaskan energi sebesar 2,5 Terra Joule (1 Terra Joule = 1012 W.s) energi ini setara dengan pembakaran 2,4 juta kg batu bara tanpa menimbulkan emisi gas-gas polutan yang berbahaya bagi kehidupan manusia. Dengan energi sebesar ini, 10% kebutuhan energi listrik Jawa-Bali dapat terpenuhi kurang lebih selama 3 tahun tanpa henti.
Dalam pandangan global, energi nuklir tidak mungkin hilang dari dunia ini, sampai suatu saat ditemukan energi alternatif baru yang lebih aman dan ekonomis, nuklir tetap memegang peranan penting dalam bidang energi. Hanya sekarang mampukah bangsa ini mengundangnya untuk mencegah krisis energi? Jawabannya ada dalam hati tiap masyarakat Indonesia.