Presidential Lecture
Kebutuhan Energi Kelistrikan Indonesia di masa depan
(Oleh: Prof. B.J. Habibie)
Dalam keadaan mendesaknya
masalah-masalah kehidupan kongkrit yang dihadapi bagian dunia yang masih
terbelakang, tidak banyak gunanya menggolong-golongkan teknologi ke
dalam 'teknologi sederhana,' 'teknologi menengah,' dan 'teknologi
tinggi'. Jauh lebih berguna mempertanyakan teknologi manakah yang dapat
memecahkan suatu masalah yang kongkrit, tanpa memperdulikan apakah
teknologi yang tepat itu adalah teknologi primitif, menengah atau
canggih, dan tanpa mempersoalkan di mana teknologi tersebut pertama kali
dikembangkan.
~Prof. Habibie~
Unduh File PPTnya disini
Seiring
dengan meningkatnya populasi penduduk dan tumbuhnya perekonomian,
kebutuhan energi listrik terus meningkat. Pada 2030 mendatang, kebutuhan
listrik akan mencapai sekitar 33,3 triliun kWh. Jumlah tersebut setara
dengan lebih dari dua kali lipat energi listrik yang diproduksi pada
2005.
Bagaimana
dengan Indonesia? Data yang dilansir www. detik.com menyebutkan bahwa
pada 2025, kebutuhan batu bara untuk bahan bakar pembangkit listrik
tenaga uap (PLTU) diperkirakan mencapai 150 juta ton per tahun.
Sementara itu, tingkat konsumsi listrik akan mencapai 49 gigawat pada
tahun yang sama.
Produksi
tenaga listrik, selanjutnya disitribusikan dan digunakan tidak lepas
dari lingkungan hidup. Penggunaan bahan bakar untuk pembangkit listrik
yang menghasilkan gas rumah kaca seperti karbondioksida tidak lagi
dianjurkan. Karena, emisi gas rumah kaca telah menjadi kontributor
peningkatan suhu bumi dan pemanasan global.
Menghasilkan
tenaga listrik dengan membakar batu bara, dan gas alam dapat
meningkatkan konsentrasi karbondioksida sehingga meningkatkan efek rumah
kaca dan pemanasan global. Tenaga nuklir juga akan berpengaruh negatif
pada lingkungan hidup. Pembangkit listrik tenaga air (PLTA) sangat
membutuhkan arus air dari bendungan untuk menggerakan turbinnya.
Banyak
pihak yang mempromosikan penggunaan sumber daya lain untuk
membangkitkan listrik seperti angin dan panas bumi. Sumber daya yang
‘hijau’ akan memberikan dua keunggulan utama, termasuk tidak menimbulkan
polusi udara dan jejak karbon.
Tenaga
surya dan angin pun memiliki keterbatasan karena sumber daya ini tidak
selalu tersedia. Dengan kata lain – matahari tidak selalu bersinar dan
angin tidak berhembus setiap saat. Kelemahan lain adalah biasanya kedua
sumber daya ini sulit didapat di daerah – daerah yang justru membutuhkan
tenaga listrik.
Integrasi
pembangkit listrik dan tenaga ‘hijau’ ke dalam power supply, serta
meningkatkan penghematan energi dan mengurangi puncak kebutuhan listrik,
adalah alasan mengapa pemerintah, perusahaan teknologi, aktivis
lingkungan hidup dan pendukung penghematan energi semakin memusatkan
perhatian mereka pada upaya memodernisasikan grid-grid yang
mendistribusikan listrik dari pembangkit listrik ke pelanggan.
Agar
kita menggunakan lebih banyak sumber energi yang ramah lingkungan dan
mendorong transmisi, pendistribusian dan penggunaan listrik secara lebih
canggih, grid-grid listrik harus berubah menjadi ‘lebih pintar’. Oleh
karena itu, tantangan yang sebenarnya adalah membawa grid listrik dari
abad ke-20 ke abad ke-21.