Friday, 26 July 2013

Hikmah Peringatan Nuzulul Qur'an: Pengembangan Sains dan Teknologi

"Al-Quran dengan isyaratnya mendorong eksplorasi antariksa dengan sains, tentang perilaku orbit benda langit dan sifat fisis lainnya untuk pengembangan wahana antariksa."
*Prof. H. Thomas Djamaluddin, M.Sc., D.Sc.*

Menembus penjuru langit dan bumi harus dengan kekuatan. Kekuatan itu adalah sains dan teknologi. Bangsa yang kuat adalah bangsa yang kokoh dalam penguasaan sains dan teknologi.

Langit pun bisa dikuasai. 

Pesawat terbang, roket, dan satelit mutlak diperlukan untuk menguasai langit yang pada gilirannya akan menguasai penjuru bumi. Teknologi antariksa kini digunakan untuk memudahkan komunikasi navigasi segenap penjuru bumi, mengamati perilaku alam, dan mengeksplorasi kandungan sumber dayanya.


Membangun Generasi Ulil Albab

Bintang Kejora yang sesungguhnya bukan bintang melainkan planet Venus. Walau sangat terang, kecerlangannya tidaklah abadi. 
Menjelang isya cahayanya ditenggelamkan oleh cahaya bulan pasca purnama. Tidak lama ia di langit yang tinggi, hanya dalam beberapa jam bintang cemerlang itu benar-benar terbenam. 
 
Muncullah bulan pasca purnama dengan  wajah masih hampir bulat terang menguasai langit malam ini. 

Tetapi rembulan pun tak kan abadi. Saat pagi Matahari muncul jauh lebih terang, cahayanya memucatkan rembulan di ufuk barat menjelang terbenam.
Matahari pun tak kekal di langit, ada saatnya akan terbenam pula. Bayangkan suasana seperti itu bukan di tengah kota, tetapi di tengah padang pasir.

Bayangkan kita sedang bersama Nabiyullah Ibrahim ‘alaihi salam yang sedang merenungi makna tauhid, keesaan Allah, dengan akal langsung dari alam. 

Allah menceritakan kisah menarik itu di dalam QS Al-An’am: 76-79. 

 “….Ketika malam telah gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: “Inilah Tuhanku”, tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: “Saya tidak suka kepada yang tenggelam.” Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: “Inilah Tuhanku”, tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat.” Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar”. Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: “Hai kaumku, Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan."

Banyak hikmah dapat kita petik dari kisah Nabi Ibrahim tersebut untuk merenungi ayat-ayat kauniyah, ayat-ayat Allah di alam, untuk menemukan hakikat Allah dan mengambil pelajaran darinya. 

Ya, membaca ayat-ayat-Nya. 

Hal yang sama dalam format berbeda diajarkan juga oleh Malaikat Jibril kepada Rasulullah Muhammad SAW pada malam turunnya Al-Qur-an, Nuzulul Qur'an:

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS Al-Alaq:1 – 5).

”Bacalah” bukan sekadar bermakna membaca ayat-ayat Allah di kitab, tetapi membaca juga ayat-ayat Allah di alam semesta, ayat-ayat kauniyah. 

Membaca alam bermakna merenungi ciptaan Allah. Asal usulnya, prosesnya, hukum-hukum yang berlaku padanya, dan kesudahannya. Itulah menjadikan intelektualitas manusia berkembang. 

Kecendekiawanannya lebih bermakna. 

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (para cendekia), (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi. (Bila dijumpai sesuatu yang mengagumkan, ia mengembalikannya kepada Allah yang menciptakan): “Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau”. (Namun dengan menyadari keterbatasan ilmu yang berpotensi salah dalam penjelajahan inetelektualnya sehingga senantiasa ia mohon ampunan Allah), “maka peliharalah Kami dari siksa neraka”. (Q.S ALI IMRAN: 190-191)

Pada ayat tersebut Allah mengajarkan kita semua untuk menjadi “ulil albab”, orang yang senantiasa menggunakan akalnya. Menjadi cendekiawan yang senantiasa membaca alam. 

Empat Cirinya: 

Berdzikir, Berfikir, Bertauhid, dan Beristighfar.

Senantiasa berdzikir (ingat) kepada Allah dalam segala situasi. 

Tak jemu berfikir tentang segala fenomena alam. Bertauhid mengesakan Allah yang menciptakan alam ini. Tak lupa beristighfar atas kemungkinan lalai dan salah dalam pemikirannya. 

Membaca alam secara mendalam kemudian menganalisisnya, merumuskannya, dan mengujinya akan menghasilkan sains, ilmu pengetahuan.

Al-Quran mendorong umat Islam untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. 

Ayat pembuka saat turunnya Al-Quran ”iqra, bacalah”, menjadi motivasi utama dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Mestinya juga menjadi pendorong untuk melahirkan inovasi. Ada tiga peran utama sains yang juga diajarkan Al-Qur-an. 

Pertama, peran sains menjawab keingintahuan manusia. Keingintahuan utama adalah asal-usul sesuatu dan mekanisme kejadian di alam. Beberapa hal diisyaratkan di dalam Al-Quran untuk renungan bagi manusia untuk memikirkannya. 

Kedua, peran sains melandasi pengembangan teknologi yang memudahkan manusia. Sepanjang sejarah manusia, teknologi dikembangkan untuk memudahkan aktivitas manusia. Perilaku alam yang dikaji sains banyak menginspirasi pengembangan teknologi. 

Beberapa ayat Al-Quran pun memberi tantangan untuk menguasai teknologi untuk mengungkap rahasia alam.

Ketiga, menurut ajaran Islam sains juga berperan membantu mendekatkan diri kepada Allah.

Wallohualam Bissawab.

Sumber:

Prof. H. Thomas Djamaluddin, M.Sc., D.Sc.

Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN.

(Ceramah Hikmah Peringatan Nuzulul Qur'an di Istana Negara, 17 Ramadhan 1431/26 Agustus 2010)

Semoga Bermanfaat.

Hikmah Ramadhan: Dari Bangunharja Hingga Bandung Raya

“Pergilah merantau untuk mencari kemuliaan, karena dalam perjalanan itu ada lima kegunaan; yaitu menghilangkan kesedihan, mendapatkan penghidupan, mendapatkan ilmu, mengagungkan jiwa, dan dapat bergaul dengan orang banyak”. 
*Imam Syafi’i*

Sekitar 6 Tahun yang lalu penulis menginjakkan kaki di tanah Bandung, Paris Van Java, untuk menimba Ilmu di Isola Bumi Siliwangi. Berangkat dari sebuah Desa Indah bertahtakan hutan dan mempunyai permadani alam yang hijau yaitu sawah-ladang yang menghampar.


Ditakdirkan untuk menggumuli Pendidikan Fisika di Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pendidikan Indonesia.

Semoga perjuangan kami ini mendapatkan berkah-Mu ya Robbana.

Terinspirasi membuat sebuah karya sederhana.

Penyusunan Rencana Induk Metropolitan Bandung Raya.



Sebuah harapan daerah Bandung Raya yang Bersih, Hijau, Berbunga dan Penuh Seni Budaya. Memiliki wawasan daerah yang berpendidikan maju, pusat tumbuh kembangannya IPTEK yang tinggi, juga masyarakat religius penuh kasih sayang ramah tamah.
 Penulis Bersama Para Siswa di Mesjid Al-Furqon Universitas Pendidikan Indonesia

 "Wahai Anak Muda Jelajahi Indonesiamu yang luas lagi indah. Jengkali Benua Amerika yang Menawan, Reguk semua Ilmu Pengetahuan di sana, lalu berlabuhlah di Altar Suci Harvard University yang Megah."

Terima Kasih Kawan-Kawan Semoga Ramadhan kali ini Menjadi Hikmah Bagi Kita Semua.

Amin.

Soft Power: Issues, Momentum, and Crisis

Soft power is a concept developed by Prof. Joseph Nye of Harvard University to describe the ability to attract and co-opt rather than coerce, use force or give money as a means of persuasion. Nye coined the term in a 1990 book, Bound to Lead: The Changing Nature of American Power. He further developed the concept in his 2004 book, Soft Power: The Means to Success in World Politics. 


Prof. Joseph Samuel Nye, Jr. (born January 19, 1937) is an American political scientist and former Dean of the John F. Kennedy School of Government at Harvard University. He currently holds the position of University Distinguished Service Professor at Harvard University where he has been a member of the faculty since 1964.

Education

Nye attended Morristown Prep (now the Morristown-Beard School) in Morristown, New Jersey and graduated in 1954. He went on to Princeton University, where he graduated summa cum laude, Phi Beta Kappa, and won the Myron T. Herrick Thesis Prize.

During his time at Princeton, Nye was vice president of the Colonial Club, a columnist for The Daily Princetonian, and a member of the American Whig–Cliosophic Society's Debate Panel. After studying Philosophy, Politics and Economics (PPE) as a Rhodes Scholar at Oxford University's Exeter College, he obtained his Ph.D. in political science from Harvard University in 1964.


Soft Power: Issues, Momentum, and Crisis

Even though Indonesia's position in counter terror agenda is actually merely as derivative of the US's, paractically there are three main things that make the former's counter terror agenda more thrives in public acceptence.

First and the most important factor is the dominant side of "low enforcement" issue, as compared to the issue of "military war againts terrorism" within the atmosphere of democracy.

Invasions toward Iraq and Afghanistan are often made as example of the incorrectness of hard power approach in counter terror agenda.

Meanwhile, the second and third factor are the more incidential supporter to the first factor, namely the momentum and crisis.


Soft Power Superpowers: Cultural and National Assets of Japan and the United States

By: Prof. Yasushi Watanabe and Prof. David L. McConnell

Prof. Yasushi Watanabe is a professor at the Graduate School of Media and Governance at Keio University. Highly interested in the relationship between culture and politics.

Mr. Watanabe received a B.A. in American Studies from Sophia University (Tokyo), an M.A. and Ph.D. in cultural anthropology from Harvard University, followed by a postdoctoral fellowship held at the Universities of Oxford and Cambridge.

Prof. David L. McConnell is Professor of Anthropology Chair, Sociology and Anthropology Department The College of Wooster Wooster OH  44691 Tel: 330-263-2476, Email: dmcconnell@wooster.edu

Education: Ph.D., Education, Stanford University, Stanford, CA (1991), Area:  Social Sciences in Education
M.A., Anthropology, Stanford University, Stanford, CA (1991), B.A., Cross-Cultural Studies, Earlham College, Richmond, IN (1982).

Diplomasi Pendidikan dan Kebudayaan

Dalam kenyataannya sebuah negara tidak hidup secara mandiri di dunia. Banyak negara dunia memiliki keterikatan antara yang satu dengan yang lainnya. Baik dalam hal perekonomian, kebudayaan, pendidikan maupun militer. Dengan adanya keterikatan ini tentu saja seringkali terjadi tarik-menarik antar kepentingan negara-negara terkait.

Salah satu yang menjadi penopang uatama dalam hubungan antar negara ini adalah CORP DIPLOMATIC. Namun tentu saja corp diplomatic tidak akan banyak memiliki bargaining jika negara yang diwakilinya tidak memiliki sisi potensial yang menjadikan seorang diplomat memiliki posisi yang kuat di hadapan diplomat dari negara-negara lain. Dalam hal ini tentu saja peranan pemerintah dalam menata negaranya menjadi faktor terpenting dalam menaikkan bargaining dipomasi negara bersangkutan.

Sementara itu diplomasi merupakan salah satu cara bagi negara-negara yang saling memiliki keterikatan dapat mengembangkan usaha-usaha memakmurkan rakyatnya. Di sinilah peran dan strategi diplomasi menjadi salah satu hal terpenting dalam pengembangan sebuah negara bangsa.

Misalnya saja dalam dunia pendidikan, jika banyak penawaran dari berbagai negara meminta kepada kita untuk mengirimkan sarjana-sarjana untuk meneruskan studi di luar negeri itu berarti. Para intelektual kita sudah mulai mendapatkan perhatian dari negara-negara lain.

Nah kalau kita kemudian menyianyiakannya dengan mengirimkan orang-orang yang memiliki kompetensi rendah, tentu saja akan mengecewakan mereka. Pada kenyataannya, selama ini kita selalu berusaha memenuhi permintaan tersebut dengan penuh tanggungjawab. Hal ini memberikan kepercayan kepada mereka untuk melanjutkan program-program mereka secara berkesinambungan.

Bayangkan saja seandainya yang terjadi adalah sebaliknya.

Apakah itu namanya bukan mempersempit ruang gerak sendiri?

Nah selanjutnya adalah mempersiapkan sebuah ruang follow up yang sepadan dengan kegigihan mereka, sesuai dengan kompetensi mereka setelah mereka kembali ke tanah air. Karena tentu saja mereka akan enggan pulang jika di dalam negeri tidak dapat menemukan ruang yang cukup representative dengan keahlian-keahlian yang mereka dapatkan.

Dan jika mereka benar-benar tidak mau pulang misalnya, maka yang rugi adalah negara ini sendiri, yang mulai ditinggalkan oleh orang-orang pilihannya. 

Allhamdulilah penulis sudah berteman dengan Kak Arya Sandhiyudha di jejaring sosial Twitter dan menyimak KulTwit-KulTwit-nya yang inspiratif.

Terima Kasih Kak.

Diplomasi Angklung Ala Indonesia

Indonesia berhasil menorehkan sejarah dengan memecahkan rekor ansembel permainan angklung di sebuah gedung olahraga di Beijing, China. Sebanyak 5.393 peserta turut berpartisipasi main angklung dalam upaya pemecahan rekor yang digelar pada Minggu kemarin, 30 Juni 2013.

Menurut laman harian People's Daily, 1 Juli 2013, pertunjukkan itu berlangsung selama lebih dari 10 menit dengan dipandu pemain angklung asal Indonesia. Mereka membawakan dua lagu, salah satunya ciptaan Michael Jackson, "We are the World," dan sebuah lagu China "Bulan adalah Saksiku".

Para pemain masing-masing memegang angklung yang hanya dapat menghasilkan satu suara saja. Sehingga untuk dapat menampilkan satu lagu dengan penuh harmoni, maka tiap kali para pemain menggoyangkan angklungnya maka mereka harus memperhatikan instruksi yang diberikan oleh si konduktor.

Indonesia Bisa!

Sources:

1. Dr. Arya Sandhiyudha (Germany 2011-2012)
Expert Staff for the Chairman of Commission 1 on Foreign Affairs, Defense, and Intelligence di DPR-RI, Indonesia Parliament.
Pendidikan: Universitas Indonesia (UI), Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University, Fatih University, Turkey.

2. http://www.hks.harvard.edu/  [John F. Kennedy School of Government]

3. Prof. Dr. H. Qomaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sarif Hidayatullah Jakarta.

4. Arip Nurahman Notes

5. http://www.foreignpolicy.com/ [Foreign Policy]

6. Viva News

7. Kementrian Luar Negeri Indonesia