Polemik perbedaan penetapan awal Ramadhan yang kerap terjadi antara sejumlah ORMAS Islam menurut Peneliti Astronomi-Astrofisika, LAPAN, Prof. H. Thomas Djamaluddin, M.Sc., D.Sc. terjadi karena ketiadaan pedoman hilal yang jelas.
Dalam setiap sidang isbat awal Ramadhan, Prof. Djamaluddin meminta Kementerian Agama untuk memfasilitasi dialog antar ormas Islam guna mendapatkan kesepatkan prihal kriteria hilal.
Menurut Prof. Djamaluddin, kesepatakan kriteria hilal tidak semata bertujuan untuk menentukan hari besar islam saja. Lebih dari itu, ia melihat ada tujuan yang lebih besar lagi, yakni menuju kalendar islam yang mempersatukan umat.
From Left to Right
Prof. Thomas, Arip, Bpk. Dr. Judhistira Aria Utama, M.Si.
At FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia
Profesor yang satu ini terkenal akan kritikannya yang tajam, bahkan cendrung tegas. Bila berdiskusi dan berdebat terlihat dalam acara televisi beliau sangat tegas, lugas dan langsung ke sasaran.
Bahkan salah satu ORMAS Islam legendaris di Indonesia sering mendapat kritikan-kritikan yang membangun dari beliau.
Bahkan Prof. KH Yunahar Ilyas seorang ulama senior pernah berujar:
“Bahasa dia (Prof. Thomas) bukan lagi cerminan bahasa seorang saintis.”
Meskipun demikian sebenarnya pribadi beliau sangatlah rendah hati, sering tersenyum bahkan jauh dari Arogan. Penulis sering bertemu beliau dan mengikuti diskusi-diskusinya di dunia maya atau jejaring sosial milik beliau.
Kritikan membangunnya adalah semata-mata Kritikan Ilmiah, jelas Prof. Thomas Djamaluddin.
Berikut pemikirannya tentang kalendar Islam pemersatu umat,
Sistem kalender yang mapan mensyaratkan tiga hal:
1. Ada batasan wilayah keberlakukan (nasional atau global).
2. Ada otoritas tunggal yang menetapkannya.
3. Ada kriteria yang disepakati
Mari kita niatkan bersama untuk mewujudkan kalender hijriyah menjadi kalender pemersatu ummat. Suatu kalender yang mapan yang setara dengan kalender Masehi.
Untuk mewujudkannya, kita lakukan secara bertahap, dimulai dari tingkat nasional, kemudian diperluas menjadi regional, dan akhirnya global. Untuk tingkat nasional kita tinggal selangkah lagi.
Otoritas tunggal kita sudah mempunyainya, yaitu pemerintah yang diwakili Menteri Agama. Batas wilayah keberlakukan kita sepakati, yaitu batas wilayah NKRI. Tinggal satu lagi yang kita upayakan, menyamakan kriteria.
Kriteria yang kita tetapkan harus bisa mempertemukan hisab dan rukyat, sehingga aplikasinya senantiasa sejalan dengan kebutuhan ibadah yang bagi sebagian kalangan mensyaratkan adanya rukyatul hilal. Itu mudah, kita gunakan kriteria imkanur rukyat atau visibilitas hilal.
Dengan kriteria itu kita bisa menentukan kalender dengan hisab sekian puluh atau sekian ratus tahun ke depan, selama kriterianya belum diubah.
Seandainya, kriteria itu sudah kita sepakati, satu tahapan dapat kita capai: kita akan mempunyai satu kalender hijriyah nasional yang baku.
Sistem kalender yang berlaku untuk semua ormas dan menjadi acuan pemerintah dalam menetapkan hari-hari besar Islam. Awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha insya-allah akan seragam, karena hasil rukyat pun insya-allah akan sejalan.
Sidang isbat, kalau masih diperlukan, hanya untuk menetapkan hasil rukyat dan menetapkan keputusan ketika ada permasalah dengan hasil rukyat dalam kondisi mendung, dengan tetap merujuk pada kriteria hisab-rukyat yang disepakati.
Marilah kita bermimpi untuk kemudian memperluasnya ke tingkat regional dan global.
Mungkinkah?
Sangat mungkin.
Sumber:
Prof. H. Thomas Djamaluddin, M.Sc., D.Sc.