Tuesday, 6 August 2013

Maha Desain: The Meaning Of Life

Where Do We Come From? What Are We? Where Are We Going?

Situs Originos Dei Est Miratio



“Karena adanya hukum seperti gravitasi, alam semesta dapat dan akan menciptakan dirinya sendiri dari tanpa sesuatu apapun (nothing).

Penciptaan spontan adalah alasannya mengapa ’sesuatu’ itu ada dari tanpa sesuatu apapun, inilah alasan mengapa alam semesta eksis dan kita pun juga eksis.”

And what lay before?

Is anything certain in life?

The brain is responsible not only for the reality we perceive, but also for our emotions and meaning too.

Love and honour, right and wrong, are part of the universe we create in our minds just as a table, a plane, and a galaxy.

Konsep yang dibawa oleh Professor Hawking di dalam buku barunya tersebut menempatkan dirinya dalam posisi self defeating (kalah dengan sendirinya), sebab ketika dia mengklaim bahwa sesuatu itu berasal dari tanpa sesuatu apapun dan tanpa adanya kausalitas pada konsep kuantum level yang diusungnya.

Maka ini sama artinya dengan mengatakan bahwa bukunya The Grand Design tidaklah ditulis oleh dirinya, namun buku tersebut ada secara spontan dan eksis tanpa adanya kausalitas, dan berasal dari tanpa sesuatu apapun (nothing).

Bahwa buku baru tidaklah baru sebagai buku, karena manusia sudah melihat banyak buku.

The meaning of life is what you choose it to be.

Source:

The Grand Design By:
Prof. Stephen Hawking dan Leonard Mlodinow 

Walohualambissawab

Menuju Indonesia Super Genius

Kegiatan Belajar Mengajar di Masa Depan 

"A Great Nation is the Nation that Writes"
*Prof. H. A. Chaedar Alwasilah, M.A., Ph.D.*




Apakah anak-anak Indonesia setara kecerdasannya dengan anak-anak bangsa-bangsa maju di dunia?

Ataukah Anak-anak Indonesia bisa lebih unggul lagi dari mereka?

Prof. Habibie gemar Belajar, Einstein senang belajar. Newton senang belajar, Leonardo da Vinci, asyik belajar. Feynman, Michio Kaku, Alan Lightman, Carl Sagan, Stephen Hawking senang belajar, Bill Gates Gila Belajar, Steve Jobs sangat maniak belajar desain dan komputer.

Semua anak-anak yang disebut cerdas, dimanapun, di Indonesia atau di dunia, senang belajar.

Bagi mereka alam semesta adalah keajaiban.

Planet-planet lain di luar angkasa adalah sesuatu yang fantastik. Mungkin ada makhluk lain atau peradaban besar di sana yang tidak kita ketahui.

Bagaimana pesawat raksasa yang berbobot ratusan ton bisa terbang, adalah sesuatu yang ajaib.

Bagaimana seluruh alam bisa berada dalam keteraturan, dari kuark sampai planet dan galaksi adalah sesuatu yang maha-dahsyat?

Bagaimana kecepatan cahaya bisa diukur, atau bagaimana sebuah partikel super kecil bisa berubah menjadi kekuatan energi maha-dahsyat?

E = mc² 
On The Shoulders of Giants  


Semuanya seperti sesuatu yang nyaris tidak masuk akal.

Tapi itulah keajaiban dunia, keajaiban alam semesta, keajaiban sains dan teknologi. 

Mereka jadi senang belajar, karena mereka beruntung mendapat proses belajar yang menyenangkan, dan asyik. 

Mereka mempunyai buku-buku yang menyenangkan dan asyik, ensiklopedia ilmu dengan gambar-gambar yang keren, indah, dan berwarna-warni, bahkan komik-komik sains-fiksi yang seru.

Kalau mereka tidak bisa membelinya, mereka bisa membacanya di perpustakaan sepuas-puasnya.

Mereka juga suka menonton film sains-fiksi, atau benda-benda ”ajaib” yang menstimulasi pikiran mereka. 

Mereka punya pembimbing yang menyenangkan.

Orangtua mereka mengajarkan mereka keasyikan sains, mereka punya teman, kakak, paman, dan guru-guru di sekolah yang juga menyenangkan dan mengajarkan bahwa alam semesta itu penuh dengan keajaiban.

Karena senang, intensitas belajarnya jadi tinggi, itu saja. 

Seluruh dunia jadi terbuka buat mereka, indah, ringan, menyenangkan, dan gampang.

Dan mereka mendapat gelar, anak-anak cerdas, bahkan super genius. 

Semangat Pelajar Indonesia

Sumber: 

Kak Eko Laksono, Imperium Indonesia
Intel Corporation
Arip Nurahman Notes
Universitas Pendidikan Indonesia

Membangun Kualitas Manusia Indonesia



Titik berangkatnya adalah kesadaran bahwa garda terdepan untuk meraih kemenangan adalah kualitas manusia.

Kualitas manusia ini hanya bisa diraih lewat pendidikan yang berkualitas.

Pendidikan berkualitas itu sebab utamanya bukan karena gedung, buku, kurikulum atau bahasa tapi hadir dari guru yang berkualitas. 

Soal pendidikan adalah soal guru. 

Di balik kompleksitas perdebatan yang rumit dan panjang soal sistem pendidikan, soal kurikulum, soal ujian dan semacamnya, terdapat para guru. 

Mereka berdiri di depan anak didiknya; mereka mendidik, merangsang, dan menginspirasi.

Pada pundak guru-guru ini, kita titipkan persiapan masa depan republik ini.

Para guru adalah futurolog yang sebenarnya, dihadapannya duduk anak didik yang akan jadi wajah masa depan Republik ini. 

Cara kita memikirkan, menghormati dan memperlakukan guru hari ini adalah cara kita menghormati masa depan bangsa ini.

Dengan tegas harus saya katakan sebagai bangsa kita secara lisan nyatakan peduli, tapi senyatanya tak peduli pada nasib guru.

Bangsa ini titipkan anak-anaknya pada para guru, tapi kita tak mau peduli nasib mereka.

Libatkan diri kita untuk mempersiapkan masa depan Indonesia.

Mulailah belajar dan mengajar.

Untuk kita, untuk masa depan anak-anak kita dan untuk melunasi janji kemerdekaan:

Mencerdaskan Kehidupan Bangsa. 

Sumber: 

Prof. Anies Rasyid Baswedan, M.A., Ph.D.
Rektor Universitas Paramadina, dan Founder Indonesia Mengajar.
Arip Nurahman Notes
JTOKU Indonesia

Antara Cita-Cita dan Janji Kemerdekaan

Menjadi pemimpin adalah menjadi pemberi janji. 

Saya tak sepaham dengan pendirian: beri bukti, bukan janji. 

Dengan memberi janji, ada sesuatu yang bisa ditagih. 

Bagaimana mungkin kita menagih sesuatu yang tak pernah dijanjikan sebelumnya?! 

Keberhasilan seorang pemimpin justru terutama dilihat dari keberhasilannya memperpendek jarak antara janji dan kenyataan. 

Semakin pendek jarak, semakin berhasil dia. Demikian sebaliknya. 

Konsitusi menegaskan empat janji, bukan cita-cita. 

Saya lebih suka menyebutnya sebagai Janji Kemerdekaan, bukan Cita-cita Kemedekaan. 

Cita-cita itu sesuatu yang ingin dicapai tapi bisa abstrak. Cita-cita itu jika tercapai akan disyukuri, jika tidak tercapai akan direvisi. 

Janji adalah hutang yang harus dilunasi. Janji tak pantas dan tak boleh direvisi. Republik ini berjanji dan janjinya harus dilunasi. Tanggung jawab melunasi itu menempel pada semua kita, walau beban terbesar adalah pada siapa pun yang menjadi pemimpin di republik ini. 

Janji kemerdekaan kita adalah: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. 

Kita pasti mafhum, empat janji itu luar biasa berat. 

Setiap pemimpin dan kita semua mestinya menyadari bahwa hal tersebut adalah janji yang harus dibayar lunas. 

Saya kurang sependapat dengan konsep pemimpin yang menawarkan diri: saksikan, saya akan hadir untuk menyelesaikan masalah Anda. Itu kuno. 

Kepemimpinan yang dibutuhkan Indonesia saat ini adalah kepemimpinan yang menggerakan. 

Kepemimpinan yang memberikan semangat, hadir membawa “nyawa”, menyajikan nuansa, dan menyodorkan perasaan tujuan yang sama. 

Pemimpin yang mampu memberi inspirasi sehingga lahir afeksi aktif dari orang-orang yang dipimpinnya. Yang membuat orang yang dipimpin bergerak untuk ikut, untuk turun tangan bekerja dan berkontribusi untuk menyelesaikan masalah. 

Bukan pemimpin yang menumbuhkan afeksi pasif, yang membuat orang-orang yang dipimpin terlena, hanya diminta untuk menonton pemimpinnya bekerja, dan tidak bisa keluar dari jebakan pola hubungan patron-client yang telah menghantui bangsa kita begitu lama. 

Pendekatan yang lebih tepat adalah kepemimpinan yang hadir untuk merangsang semua orang untuk mau menyelesaikan masalah. Mungkin istilah yang pas adalah menggerakkan. Pemimpin bisa menggerakan jika dia DIPERCAYA. 

Tanpa trust maka pemimpin tidak akan mungkin diikuti, apalagi menggerakan. 

Bila rumus Trust itu dibuat dalam sebuah persamaan sederhana, maka angka Trust bisa dirumuskan sbb: 

Nilai Kepercayaan = Kompetensi+ Integritas + Kedekatan – Self-Interest. 

Hari ini kepercayaan kita pada pemimpin-pemimpin mengalami penurunan yang luar biasa bukan karena skor kompetensi yang rendah tapi karena Rendahnya angka Integritas dan rendahnya Angka Kedekatan serta tingginya angka Self-Interest. 

Sehingga skor Kepercayaan jatuh, jadi amat rendah bahkan banyak yang nilai kepercayaannya
sudah minus ! 

Sumber:

Prof. Anies Rasyid Baswedan, M.A., Ph.D.

Rektor Universitas Paramadina dan Founder Indonesia Mengajar.