Namun, jangankan Nobel. Di Indonesia, penghargaan berupa gaji yang memadai saja belum terpikirkan.
Tidaklah mengherankan bila sebagian peneliti lebih sibuk mencari penghasilan tambahan daripada berkutat di laboratorium.
Menciptakan iklim penelitian yg bisa mencetak para pemenang Nobel memang tidak mudah.
Seperti dikatakan pemenang Nobel bidang Kimia tahun 2001 dari Jepang Prof. Dr. Ryoji Noyori, syaratnya adalah guru, murid dan sistem yang baik.
Suatu hal yang dimiliki negara maju sejak lama.
Tidak ada jalan lain. Perubahan mendasar dalam sistem yang ada di Indonesia harus dilakukan kalau mau bersaing di bidang riset, apalagi bila menargetkan penghargaan Nobel yang prestisius itu.
Belajar Kepada Negara Adi Daya Sains
Nobel Prize is a set of annual international awards bestowed in a number of categories by
Scandinavian committees in recognition of cultural and/or scientific advances. The will of the
Swedish philanthropist inventor
Alfred Nobel established the prizes in 1895. The prizes in
Physics,
Chemistry,
Physiology or Medicine,
Literature, and
Peace were first awarded in 1901.
The related
Nobel Memorial Prize in Economic Sciences
was created in 1968. Between 1901 and 2012, the Nobel Prizes and the
Prize in Economic Sciences were awarded 555 times to 863 people and
organizations. With some receiving the Nobel Prize
more than once, this makes a total of 835 individuals and 21 organizations. .
Beberapa bulan lagi dunia akan kembali menyambut para peraih Nobel 2013. Nobel Foundation sebagai penyelia program apresiasi bidang fisika, kimia, fisiologi, kedokteran, ekonomi dan perdamaian itu akan mulai melansir nama-nama peraih Nobel pada 7 Oktober nanti dilanjutkan penyerahan hadiah pada 10 Desember, bertepatan dengan peringatan 117 tahun kematian penggagasnya, Alfred Nobel.
Top 10 Negara-Negara Peraih Nobel dari Tahun 1901-2010
1. United States (326)
3. Germany (103)
Indonesia Kapan Meraih Nobel?
Pertanyaan ini bisa dijawab dengan dua proses pandang. Pada tahun 1924, Ilmuwan Willem Einthoven meraih Nobel bidang Fisiologi Medis dan tercatat kenegaraannya sebagai Hindia-Belanda [Indonesia]. Pun laman Wikipedia yang merangkum nama-nama peraih hadiah Nobel berdasarkan negara mencatat nama Einthoven sebagai satu-satunya penerima Nobel dari Indonesia.
Pada 21 May 1860 Einthoven lahir di Semarang yang dulu bagian dari wilayah kekuasaan Hindia-Belanda, meskipun menghabiskan masa dewasa hingga akhir hayatnya di Leiden, Belanda. Ayahnya seorang dokter dan ibunya adalah bagian kelompok kerja yang membawahi banyak pekerja Jawa dan Madura. Kisah Einthoven tak banyak dikenal.
Kisah Nobel dan Indonesia lain terjadi pada saat Uskup Gereja Katolik Dili Carlos Filipe Ximenes Belo beserta José Ramos-Horta menerima hadiah Nobel Perdamaian pada 1996. Uskup Belo lantas jadi kontroversi karena saat itu ia tercatat sebagai warga Timor-timur yang adalah bagian dari negara Indonesia.
Timor-timur baru melakukan referendum pemisahan dari NKRI pada 1999 yang lantas disetujui oleh presiden waktu itu, B.J. Habibie. Uskup Belo dan Ramos-Horta dinilai berperan aktif dalam referendum itu hingga akhirnya negara baru mereka Timor Leste resmi berdiri pada 2002. Beberapa tokoh Indonesia, termasuk sastrawan Goenawan Muhammad dan pengamat politik Fadjroel Rahman menganggap Uskup Belo tokoh gerakan kemanusiaan yang berpendirian kuat.
Nama Uskup Belo dulu sering disejajarkan dengan sastrawan, mendiang
Pramoedya Ananta Toer. Pram hingga saat ini dikenal sebagai tokoh Indonesia yang kehidupannya paling dekat dengan Nobel.
4. France (57)
Sejak 1996 Pram berkali-kali dinominasikan sebagai kandidat peraih Nobel Sastra, berkat perannya di dalam membangun cerita kemanusiaan lewat jalur kepenulisan. Kisah pertentangannya dengan pemerintah, celetuk-celetuk satire-nya soal pembengkokan sejarah, hingga visinya membawa nama Indonesia ke kancah dunia membuat Pram dinilai pantas meraih Nobel.
Tapi fakta berbicara lain. Penghargaan tertinggi Pram yang dikenal di antaranya “hanya” Ramon Magsaysay Award for Journalism, Literature and Creative Communication Arts (1995) dan Chevalier de l’Ordre des Arts et des Lettres Republic of France (2000).
Sudut pandang sejarah (1) memang mencatat keterlibatan Indonesia dalam peraihan hadiah Nobel melalui beberapa tokoh. Meski di sudut pandang lain (2) secara konkret belum ada warga negara yang pulang dan meletakkan hadiah itu di Tanah Air.
Belum Aktif
Harus diakui bahwa Indonesia belum seaktif banyak negara Eropa dan Cina dalam mengajukan calon kandidat peraih Nobel. Selain itu, daftar pengajuan yang secara resmi banyak diajukan kepada lembaga riset Nobel Foundation yang tersebar di banyak regional sering kali sudah penuh ratusan bahkan ribuan nama di tahun sebelum penentuan kandidat. Begitu pula saat Pram dinominasikan berkali-kali untuk kategori Sastra.
Beberapa opin berhembus bahwa posisi pemerintah saat itu bingung antara mau mendukung keterpilihan Pram ataukah membincangkan pemberontakan masa lalu yang memosisikan sang tokoh kandidat pada baris pemberontak sejarah bangsa.
6. Switzerland (26)
7. Russia (25)
Mimpi Prof. Yohanes Surya, Ph.D. Indonesia Meraih Nobel 2020
Angin segar baru terhembus saat
Septinus George Saa, matematikawan remaja asal Manokwari, Papua, berhasil meraih penghargaan “First Step to Nobel in Physics” lewat Olimpiade Fisika tahun 2004 di Polandia. Namanya lantas dimasukkan ke dalam daftar “siswa internasional” yang memiliki akses penuh ke banyak beasiswa luar negeri termasuk para profesor penasihat Nobel. Tentu saja membanggakan. Meski demikian, titel ‘nobel’ dalam penghargaan itu tentunya bukan berasal dari yayasan di Oslo ataupun Swedia.
Fisikawan Indonesia Profesor Yohanes Surya, Ph.D., mentor George Saa pernah menuliskan,
statistik mencatat sejak 1961 para peraih hadiah Nobel rata-rata adalah murid atau mantan murid dari para peraih Nobel sebelumnya. Para peraih Nobel itu kemudian dijadikan guru, tempat belajar dan menimba ilmu. Meski pada praktiknya semua proses itu tidak semata-mata ditujukan untuk mengincar hadiah Nobel, peluang terbesar bisa tercipta di sana: di Amerika, di Eropa.
Prof. Yohanes yang punya mimpi Indonesia meraih Nobel pada 2020 ini mengklaim saat ini melalui beberapa program kerjasama pemerintah-kampus pihaknya berhasil mengirim beberapa siswa Indonesia untuk belajar kepada para peraih nobel.
Di laman resminya ia mencatat beberapa nama yang hingga saat ini tengah menempuh proses belajar di kampus-kampus top dunia. Siswa-siswi tersebut di antaranya Widagdo Setiawan di Massachussets Institute of Technology [MIT] (Belajar pada Prof. Wolfgang Keterlee, peraih Nobel Fisika 2001), Oki Gunawan di Princeton University (Pernah jadi murid Prof. Daniel Tsui, peraih Nobel Fisika 1998), dan Rizal Hariadi yang pernah mengajar di Caltech, dan satu kelasnya sempat dihadiri oleh satu dari tiga peraih Nobel Fisika 2004.
Optimisme Indonesia dan Nobel saat ini masih terbendung di kalangan akademisi dan peneliti kampus.
Jarang terdengar kabar proses pembelajaran para periset keilmuan kita yang kiprahnya banyak dikenal di luar negeri. Di samping pemerintah juga terkesan belum serius menyiapkan warganya untuk mendapat pengakuan lebih banyak di luar negeri (selain presidennya, tentu saja), masyarakat Indonesia juga belum akrab dengan Nobel.
8. Austria (21)
Kita juga masih berkutat dengan gejala sosial yang masih belum punya tenggang rasa penghargaan yang baik bagi sesama kolega.
Budaya penghargaan kita belum sebaik negara-negara para peraih Nobel itu memang.
Kalau kita ingin ada orang Indonesia “asli” meraih Nobel, kiranya bisa memulai dengan menghargai orang-orang di dalam negeri dulu.
Saat ini, biaya riset Indonesia termasuk yang paling rendah di dunia.
Anggaran yang nilai totalnya hanya 0,15 persen dari total PDB sangat jauh dari cukup untuk melahirkan inovasi-inovasi di bidang keilmuan dan teknologi. Komisi Inovasi Nasional (KIN) pada Desember lalu menyatakan pihaknya melalui kerjasama Dewan Riset Nasional mengajukan anggaran
Riset Sains, Teknologi dan Inovasi Indonesia harus naik jadi minimal 1 persen, atau setara dengan Rp 20 trilyun.
Itupun, jika dimaksimalkan, masih jauh dari perjalanan meraih Nobel.
Jika Pendidikan, Riset dan Budaya Ilmiah terus dikembangkan maka mungkin saja di masa depan Warga Negara Indonesia akan banyak meraih Penghargaan Nobel yang Prestisius ini.
Meski itu bukan tujuan akhir.
Ayo Pelajar Indonesia
Semangat!
Penulis Bersama dengan Peraih Nobel Kimia Tahun 1988,
Prof. Robert Huber, Ph.D.
Prof. Dr. rer. nat. Terry Mart, M.Sc.
Membangun Indonesia dengan Fisika
oleh: Nailul Hasan, Fisika ITS Surabaya.