Friday, 26 July 2013

Soft Power: Issues, Momentum, and Crisis

Soft power is a concept developed by Prof. Joseph Nye of Harvard University to describe the ability to attract and co-opt rather than coerce, use force or give money as a means of persuasion. Nye coined the term in a 1990 book, Bound to Lead: The Changing Nature of American Power. He further developed the concept in his 2004 book, Soft Power: The Means to Success in World Politics. 


Prof. Joseph Samuel Nye, Jr. (born January 19, 1937) is an American political scientist and former Dean of the John F. Kennedy School of Government at Harvard University. He currently holds the position of University Distinguished Service Professor at Harvard University where he has been a member of the faculty since 1964.

Education

Nye attended Morristown Prep (now the Morristown-Beard School) in Morristown, New Jersey and graduated in 1954. He went on to Princeton University, where he graduated summa cum laude, Phi Beta Kappa, and won the Myron T. Herrick Thesis Prize.

During his time at Princeton, Nye was vice president of the Colonial Club, a columnist for The Daily Princetonian, and a member of the American Whig–Cliosophic Society's Debate Panel. After studying Philosophy, Politics and Economics (PPE) as a Rhodes Scholar at Oxford University's Exeter College, he obtained his Ph.D. in political science from Harvard University in 1964.


Soft Power: Issues, Momentum, and Crisis

Even though Indonesia's position in counter terror agenda is actually merely as derivative of the US's, paractically there are three main things that make the former's counter terror agenda more thrives in public acceptence.

First and the most important factor is the dominant side of "low enforcement" issue, as compared to the issue of "military war againts terrorism" within the atmosphere of democracy.

Invasions toward Iraq and Afghanistan are often made as example of the incorrectness of hard power approach in counter terror agenda.

Meanwhile, the second and third factor are the more incidential supporter to the first factor, namely the momentum and crisis.


Soft Power Superpowers: Cultural and National Assets of Japan and the United States

By: Prof. Yasushi Watanabe and Prof. David L. McConnell

Prof. Yasushi Watanabe is a professor at the Graduate School of Media and Governance at Keio University. Highly interested in the relationship between culture and politics.

Mr. Watanabe received a B.A. in American Studies from Sophia University (Tokyo), an M.A. and Ph.D. in cultural anthropology from Harvard University, followed by a postdoctoral fellowship held at the Universities of Oxford and Cambridge.

Prof. David L. McConnell is Professor of Anthropology Chair, Sociology and Anthropology Department The College of Wooster Wooster OH  44691 Tel: 330-263-2476, Email: dmcconnell@wooster.edu

Education: Ph.D., Education, Stanford University, Stanford, CA (1991), Area:  Social Sciences in Education
M.A., Anthropology, Stanford University, Stanford, CA (1991), B.A., Cross-Cultural Studies, Earlham College, Richmond, IN (1982).

Diplomasi Pendidikan dan Kebudayaan

Dalam kenyataannya sebuah negara tidak hidup secara mandiri di dunia. Banyak negara dunia memiliki keterikatan antara yang satu dengan yang lainnya. Baik dalam hal perekonomian, kebudayaan, pendidikan maupun militer. Dengan adanya keterikatan ini tentu saja seringkali terjadi tarik-menarik antar kepentingan negara-negara terkait.

Salah satu yang menjadi penopang uatama dalam hubungan antar negara ini adalah CORP DIPLOMATIC. Namun tentu saja corp diplomatic tidak akan banyak memiliki bargaining jika negara yang diwakilinya tidak memiliki sisi potensial yang menjadikan seorang diplomat memiliki posisi yang kuat di hadapan diplomat dari negara-negara lain. Dalam hal ini tentu saja peranan pemerintah dalam menata negaranya menjadi faktor terpenting dalam menaikkan bargaining dipomasi negara bersangkutan.

Sementara itu diplomasi merupakan salah satu cara bagi negara-negara yang saling memiliki keterikatan dapat mengembangkan usaha-usaha memakmurkan rakyatnya. Di sinilah peran dan strategi diplomasi menjadi salah satu hal terpenting dalam pengembangan sebuah negara bangsa.

Misalnya saja dalam dunia pendidikan, jika banyak penawaran dari berbagai negara meminta kepada kita untuk mengirimkan sarjana-sarjana untuk meneruskan studi di luar negeri itu berarti. Para intelektual kita sudah mulai mendapatkan perhatian dari negara-negara lain.

Nah kalau kita kemudian menyianyiakannya dengan mengirimkan orang-orang yang memiliki kompetensi rendah, tentu saja akan mengecewakan mereka. Pada kenyataannya, selama ini kita selalu berusaha memenuhi permintaan tersebut dengan penuh tanggungjawab. Hal ini memberikan kepercayan kepada mereka untuk melanjutkan program-program mereka secara berkesinambungan.

Bayangkan saja seandainya yang terjadi adalah sebaliknya.

Apakah itu namanya bukan mempersempit ruang gerak sendiri?

Nah selanjutnya adalah mempersiapkan sebuah ruang follow up yang sepadan dengan kegigihan mereka, sesuai dengan kompetensi mereka setelah mereka kembali ke tanah air. Karena tentu saja mereka akan enggan pulang jika di dalam negeri tidak dapat menemukan ruang yang cukup representative dengan keahlian-keahlian yang mereka dapatkan.

Dan jika mereka benar-benar tidak mau pulang misalnya, maka yang rugi adalah negara ini sendiri, yang mulai ditinggalkan oleh orang-orang pilihannya. 

Allhamdulilah penulis sudah berteman dengan Kak Arya Sandhiyudha di jejaring sosial Twitter dan menyimak KulTwit-KulTwit-nya yang inspiratif.

Terima Kasih Kak.

Diplomasi Angklung Ala Indonesia

Indonesia berhasil menorehkan sejarah dengan memecahkan rekor ansembel permainan angklung di sebuah gedung olahraga di Beijing, China. Sebanyak 5.393 peserta turut berpartisipasi main angklung dalam upaya pemecahan rekor yang digelar pada Minggu kemarin, 30 Juni 2013.

Menurut laman harian People's Daily, 1 Juli 2013, pertunjukkan itu berlangsung selama lebih dari 10 menit dengan dipandu pemain angklung asal Indonesia. Mereka membawakan dua lagu, salah satunya ciptaan Michael Jackson, "We are the World," dan sebuah lagu China "Bulan adalah Saksiku".

Para pemain masing-masing memegang angklung yang hanya dapat menghasilkan satu suara saja. Sehingga untuk dapat menampilkan satu lagu dengan penuh harmoni, maka tiap kali para pemain menggoyangkan angklungnya maka mereka harus memperhatikan instruksi yang diberikan oleh si konduktor.

Indonesia Bisa!

Sources:

1. Dr. Arya Sandhiyudha (Germany 2011-2012)
Expert Staff for the Chairman of Commission 1 on Foreign Affairs, Defense, and Intelligence di DPR-RI, Indonesia Parliament.
Pendidikan: Universitas Indonesia (UI), Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University, Fatih University, Turkey.

2. http://www.hks.harvard.edu/  [John F. Kennedy School of Government]

3. Prof. Dr. H. Qomaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sarif Hidayatullah Jakarta.

4. Arip Nurahman Notes

5. http://www.foreignpolicy.com/ [Foreign Policy]

6. Viva News

7. Kementrian Luar Negeri Indonesia  


No comments: