Friday, 2 August 2013

Menyelesaikan Problem Reaksi Fusi Nuklir

Kebutuhan akan energi bertambah semakin cepat dari tahun ke tahun, sementara sumber yang dapat langsung untuk digunakan untuk kebutuhan tertentu semakin terbatas. Meskipun energi yang bersumber pada radiasi matahari (energi surya) sangat berlimpah tetapi sejauh ini belum dapat pemanfaatannya masih belum dapat optimal.

Secara ekonomis peralatan yang diperlukan untuk mengkonversi energi surya masih relatif mahal dibandingkan sumber-sumber energi yang bersumber pada minyak dan gas bumi serta batu bara.

Reaktor fusi nuklir merupakan salah satu sumber energi alternatif masa depan yang menggunakan bahan bakar yang tersedia melimpah, sangat efisien, bersih dari polusi, tidak akan menimbulkan bahaya kebocoran radiasi dan tidak menyebabkan sampah radioaktif yang merisaukan seperti pada reaktor fisi nuklir.

Sejauh ini reaktor fusi nuklir masih belum dioperasikan secara komersial. Prototip reaktor-reaktor fusi saat ini masih dalam tahap eksperimentasi pada beberapa laboratorium di USA dan di beberapa negara maju lainnya.

Suatu konsorsium dari USA, rusia, Eropa dan Jepang telah mengajukan pembangunan suatu reaktor fusi yang disebut International Thermonuclear Experimental Reactor (ITER) di Cadarache (Perancis) untuk menguji kelayakan dan keberlanjutan penggunaan reaksi fusi untuk menghasilkan energi listrik.

Patut diingat bahwa di atas permukaan bumi sangat sulit untuk memperoleh kondisi tekanan dan kerapatan ekstrim seperti yang dimiliki oleh inti matahari.

Jurus Fusion Ala Dragon Ball

Dengan kondisi ekstrim tersebut, reaksi fusi sudah dapat menyala pada temperatur 10 - 15 juta Celsius. Di lain pihak, reaktivitas proses fusi DT akan maksimal baru pada temperatur 100 juta Celsius, hampir sepuluh kali lipat temperatur inti matahari. Pada temperatur ini seluruh material yang dikenal manusia di permukaan bumi akan cepat menguap. 

Jadi, tidak seperti reaktor konvensional yang material reaktornya dapat memiliki kontak langsung dengan bahan bakar, di sini plasma bahan bakar harus 'diletakkan' di tengah reaktor. Ada dua cara untuk menahan plasma sehingga tidak bersentuhan dengan dinding reaktor. 

Cara pertama adalah dengan mengeksploitasi inersia (massa) partikel. 

Pada metode ini bahan bakar fusi berbentuk pellet ditembaki dengan partikel berenergi tinggi atau dengan sinar laser dari segala arah. Pellet tersebut mengalami gelombang (tekanan) kejut ke arah dalam sehingga temperatur dan kerapatannya meningkat ke batas ekstrim.

Pada kondisi tersebut reaksi fusi dapat mulai menyala dan energi pembakaran termonuklir mulai dilepas. Hasilnya berupa partikel alpha dan neutron bergerak ke arah dinding reaktor untuk diserap energinya. Metode ini dinamakan inertial confinement.

Cara yang kedua memanfaatkan muatan partikel. Partikel-partikel bermuatan (dalam hal ini plasma) dapat dijaga agar mengorbit pada satu lintasan di dalam reaktor dengan menggunakan medan magnet super kuat yang dibangkitkan oleh superkonduktor.
Metode kedua ini dinamakan magnetic confinement.

Karena plasma bermuatan positif maka ia dapat dipanaskan dengan cara mengalirkan arus listrik hingga 7 juta Ampere yang akan mendepositkan energi termal hingga beberapa MegaWatt (MW).

Metode ini memiliki keterbatasan karena plasma dapat dipanaskan hingga suhu sekitar 10 juta Celsius.

Untuk menaikkan suhu plasma ke tingkat yang lebih tinggi (100 juta Celsius merupakan syarat minimal) harus digunakan beberapa cara lain, misalnya dengan menggunakan gelombang elektromagnetik mirip seperti pada oven microwave.

Sekitar 10 MW energi termal dapat didepositkan dengan metode ini.

Metode lain adalah dengan mempercepat bahan bakar D dan T dengan beda potensial sekitar 140 kilovolt. 

Partikel alpha yang dihasilkan dari fusi DT akan tetap berada dalam plasma, sedangkan energi kinetik yang dimilikinya akan membantu menaikkan temperatur plasma.

Jika energi seluruh a sudah cukup untuk mempertahankan temperatur plasma di sekitar 100 juta Celsius, proses fusi dapat berlangsung sendiri tanpa pemanasan dari luar.

Konsorsium Negara-Negara Pengembang Reaktor Fusi Nuklir ITER

Kondisi ini dinamakan kondisi penyalaan (ignition). 

Meski demikian, untuk tujuan komersial reaktor fusi tidak harus mencapai kondisi ini. Jika reaktor fusi dioperasikan pada kondisi sebelum penyalaan, jelas diperlukan daya listrik eksternal ekstra besar untuk mengoperasikan reaktor. 

Reaktor komersial haruslah memiliki daya asupan yang jauh lebih kecil dibandingkan daya keluaran. Untuk itu, didefinisikan faktor penguatan daya (Q) yang sebanding dengan rasio dari daya keluaran terhadap daya asupan. 

Jika efisiensi konversi energi termal ke energi listrik sekitar 35%, sedangkan efisiensi pemanasan plasma dengan energi listrik sebesar 80%, maka efisiensi total sekitar 25%. Dengan demikian Q > 4 adalah suatu keharusan, namun untuk tujuan komersial Q yang sebesar-besarnya tentulah yang diharapkan (diperkirakan antara 30 - 50). 

Problem reaktor fusi sebenarnya adalah mempertahankan proses reaksi fusi yang membutuhkan kondisi sangat spesial, sementara kondisi tersebut sangat mudah berubah.



To Be Continued

Sumber:

Prof. Dr. rer. nat. Terry Mart, M.Sc.
ITER
http://en.wikipedia.org/wiki/Fusion_power
Fisika Modern

No comments: