Tuesday, 6 August 2013

Antara Cita-Cita dan Janji Kemerdekaan

Menjadi pemimpin adalah menjadi pemberi janji. 

Saya tak sepaham dengan pendirian: beri bukti, bukan janji. 

Dengan memberi janji, ada sesuatu yang bisa ditagih. 

Bagaimana mungkin kita menagih sesuatu yang tak pernah dijanjikan sebelumnya?! 

Keberhasilan seorang pemimpin justru terutama dilihat dari keberhasilannya memperpendek jarak antara janji dan kenyataan. 

Semakin pendek jarak, semakin berhasil dia. Demikian sebaliknya. 

Konsitusi menegaskan empat janji, bukan cita-cita. 

Saya lebih suka menyebutnya sebagai Janji Kemerdekaan, bukan Cita-cita Kemedekaan. 

Cita-cita itu sesuatu yang ingin dicapai tapi bisa abstrak. Cita-cita itu jika tercapai akan disyukuri, jika tidak tercapai akan direvisi. 

Janji adalah hutang yang harus dilunasi. Janji tak pantas dan tak boleh direvisi. Republik ini berjanji dan janjinya harus dilunasi. Tanggung jawab melunasi itu menempel pada semua kita, walau beban terbesar adalah pada siapa pun yang menjadi pemimpin di republik ini. 

Janji kemerdekaan kita adalah: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. 

Kita pasti mafhum, empat janji itu luar biasa berat. 

Setiap pemimpin dan kita semua mestinya menyadari bahwa hal tersebut adalah janji yang harus dibayar lunas. 

Saya kurang sependapat dengan konsep pemimpin yang menawarkan diri: saksikan, saya akan hadir untuk menyelesaikan masalah Anda. Itu kuno. 

Kepemimpinan yang dibutuhkan Indonesia saat ini adalah kepemimpinan yang menggerakan. 

Kepemimpinan yang memberikan semangat, hadir membawa “nyawa”, menyajikan nuansa, dan menyodorkan perasaan tujuan yang sama. 

Pemimpin yang mampu memberi inspirasi sehingga lahir afeksi aktif dari orang-orang yang dipimpinnya. Yang membuat orang yang dipimpin bergerak untuk ikut, untuk turun tangan bekerja dan berkontribusi untuk menyelesaikan masalah. 

Bukan pemimpin yang menumbuhkan afeksi pasif, yang membuat orang-orang yang dipimpin terlena, hanya diminta untuk menonton pemimpinnya bekerja, dan tidak bisa keluar dari jebakan pola hubungan patron-client yang telah menghantui bangsa kita begitu lama. 

Pendekatan yang lebih tepat adalah kepemimpinan yang hadir untuk merangsang semua orang untuk mau menyelesaikan masalah. Mungkin istilah yang pas adalah menggerakkan. Pemimpin bisa menggerakan jika dia DIPERCAYA. 

Tanpa trust maka pemimpin tidak akan mungkin diikuti, apalagi menggerakan. 

Bila rumus Trust itu dibuat dalam sebuah persamaan sederhana, maka angka Trust bisa dirumuskan sbb: 

Nilai Kepercayaan = Kompetensi+ Integritas + Kedekatan – Self-Interest. 

Hari ini kepercayaan kita pada pemimpin-pemimpin mengalami penurunan yang luar biasa bukan karena skor kompetensi yang rendah tapi karena Rendahnya angka Integritas dan rendahnya Angka Kedekatan serta tingginya angka Self-Interest. 

Sehingga skor Kepercayaan jatuh, jadi amat rendah bahkan banyak yang nilai kepercayaannya
sudah minus ! 

Sumber:

Prof. Anies Rasyid Baswedan, M.A., Ph.D.

Rektor Universitas Paramadina dan Founder Indonesia Mengajar.

No comments: