Friday 26 October 2012

Memahami Perjalanan Spiritual Nabi Ibrahim Dari Sudut Pandang Ilmiah

 Ketika Planet-Planet Bertawaf 

"Ya Rabbana Izinkanlah suatu hari nanti kami, orang tua, keluarga dan sahabat-sahabat serta orang-orang yang telah mengajarkan kebaikan kepada kami untuk dapat mengunjungi tanah suci dan meneladani kebaikan para Nabi-Mu"

Tiada kata yang patut disampaikan dan tiada kalimat yang pantas diucapkan kecuali puja dan puji syukur kehadirat Allah S.W.T Yang Maha Ada. Allah SWT Yang Maha Ada sebelum alam semesta ini ada, Allah SWT Yang Ada sebelum kita seluruh manusia di bumi ini ada, dan Allah Yang Maha ada sebelum kata ada itu ada, bahkan Allah SWT Yang Maha ada walaupun suatu saat kata ada sudah tiada.

Tiada kemenangan tanpa perjuangan dan tiada perjuangan tanpa pengorbanan, Kita kembali mengulang dan mengenang tentang kisah perjuangan dan pengorbanan hamba Allah yang shaleh, yang telah mencapai puncak dan hakekat dari sebuah makna perjuangan dan pengorbanan, yang karena perjuangan dan pengorbanannya beliau lulus dengan predikat dan gelar "Khaliluloh" yaitu orang yang mencintai dan dicintai Allah, beliaulah NabiyaAllah Ibrahim yang dikenal di dunia barat sebagai Abraham. Bapak para Nabi, sumber dari seluruh agama dan kepercayaan langit (Yahudi, Keristen dan Islam). Pendiri baitullah.

Kisah perjuangan dan pengorbanan Nabi Ibrahim berserta keluarga bukanlah sekedar dongeng yang hanya untuk meninabobokan anak kita, Kisah Nabi Ibrahim bukan pula seperti novel dan bukan cerita yang setelah kita  baca kita tinggalkan begitu saja, Kisah Nabi Ibrahim bukan pula layaknya telenovela dan sinetron yang biasa kita tonton, lantas meninggalkan kita tanpa makna dan bekas.

Sesungguhnya kisah perjuangan dan pengorbanan Nabi Ibrahim adalah pelajaran terpenting bagi siapapun hamba Allah yang ingin mencapai derajat taqwa, kisah Nabi Ibrahim adalah tuntunan hidup suci bagi hamba Allah yang ingin menggapai perjuangan dan pengorbanan hakiki, Kisah Nabi Ibrahim adalah contoh dan teladan yang penuh arti bagi siapa pun hamba Allah yang merindukan Tauhid Murni pedoman untuk mencapai kehidupan abadi.


Kisah Pencarian Tuhan oleh Nabi Ibrahim

Nabi Ibrahim: "Wahai ibu dan ayahku, siapa yang telah menjadikan aku ini?

Jawab Ayahnya :''Ayah dan Ibu yang menjadikan kamu, karena kamu lahir disebabkan kami".

Kemudian Nabi Ibrahim bertanya lagi: "Dan siapa pula yang menjadikan Ayah dan Ibu?

Jawab orang tuanya: "Ya Kakek dan nenekmu."

Demikian tanya jawab seterusnya sampai ketitik puncak.

Nabi Ibrahim menyatakan: "Siapakah orang pertama yang menjadikan semua ini?

Maka orang tuanya tidak bisa menjawab, karena mereka tidak tahu kepada Tuhan.

Ibrahim kemudian bertanya kepada orang lain, namun mereka semua tidak bisa menjawab.

Nabi Ibrahim kemudian menggunakan akal dan fikirannya untuk mencari Tuhan Sang Pecipta alam semesta ini, karena akal manusia sangat terbatas, nabi Ibrahim pun gagal untuk mengetahui siapa sebenarnya yang telah menciptakan alam semesta ini. 

Firman Allah SWT: (QS. Al-An'am: 76-79)

"Falammaa janna 'alayhi allaylu raaa kawkaban qaala haadzaa rabbii falammaa afala qaala laa uhibbu al-aafiliina"

76. Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam."

"Falammaa raaa alqamara baazighan qaala haadzaa rabbii falammaa afala qaala la-in lam yahdinii rabbii la-akuunanna mina alqawmi aldhdhaalliina

77. Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat."

"Falammaa raaa alsysyamsa baazighatan qaala haadzaa rabbii haadzaa akbaru falammaa afalat qaala yaa qawmi innii barii-un mimmaa tusyrikuuna

78. Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar". Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.

"Innii wajjahtu wajhiya lilladzii fathara alssamaawaati waal-ardha haniifan wamaa anaa mina almusyrikiina"

79. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.


Ketika hari telah malam, Ibrahim melihat bintang, katanya: "Inilah Tuhanku...?"
Maka setelah dilihatnya bintang terbenam, ia berkata: "Saya tidak akan berTuhan pada yang terbenam."
Kemudian ketika melihat bulan purnama, iapun berkata lagi: "Inilah Tuhanku...?"

Setelah bulan itu lenyap, lenyap pula pendapatnya berTuhan kepada bulan itu, seraya berkata:
"Sungguh kalau tidak Tuhan yang memberi petunjuk, tentu saya menjadi sesat."

Maka ketika siang hari, nampak olehnya matahari yang sangat terang, ia pun berkata:
"Inikah Tuhanku yang sebenarnya...? Inilah yang lebih besar."
Setelah matahari terbenam, iapun berkata: "Hai kaumku! Saya tidak mau mempersekutukan Tuhan seperti kamu. Saya hanya berTuhan kepada yang menjadikan langit dan bumi dengan ikhlas dan sekali-kali saya tidak mau menyekutukanNya."

Itulah cara Nabi Ibrahim as. mencari Tuhan dengan menggunakan akal fikiran untuk memperhatikan alam sekitarnya. Awwaluddin ma'rifatullah, yaitu awal agama adalah mengenal Allah, barangsiapa yang ingin mengenal Allah, maka kenali dirinya baru ia akan mengenal siapa Allah itu sesungguhnya, siapa Tuhan itu dan dimana Allah itu, kenapa kita wajib menyembahnya.



Ketika Bintang-Bintang Bertawaf mengelilingi Pusat Galaksi

Memahami Sejarah Ibadah Haji Dari Sudut Pandang Ilmiah

Kita dapat memaknai fenomena thawaf. Ratusan ribuan orang yang berthawaf, silih berganti tanpa henti, terlihat seperti  ribuan asteroid, komet, dan planet yang mengitari matahari. Atau seperti milyaran bintang di galaksi bima sakti yang mengitari pusat galaksi. Mereka adalah miniatur alam semesta yang tak pernah membangkang kehendak Khaliqnya, Allahu Rabbul ‘alamin. Sejak penciptaannya mereka tetap taat mengikuti hukum-hukum Allah.

Makhluk langit (bintang-bintang dan benda-benda langit lainnya) ‘disempurnakan’ (fasawwahaa) dengan kematian dan kelahiran bintang-bintang. Hukum Allah mengendalikan evolusinya dan dinamikanya yang dicirikan dengan gerakan mengitari pusat massanya. Bulan mengitari bumi. Bumi dan planet-planet mengitari matahari. Matahari dan milyaran bintang mengitari pusat galaksi. Dalam bahasa fisika, gerakan benda-benda langit akibat gaya gravitasi. Dalam bahasa Alquran, gerakan itu bukti ketaatan langit dan bumi kepada Khaliq-nya, tanpa tawar-menawar sesuai janjinya.

Dia (Allah) berkata kepada langit dan bumi, “Datanglah kalian dengan taat atau terpaksa”. Keduanya menjawab, “Kami datang dengan taat”. (QS 41:11)

‘Mengelilingi sesuatu’ disebut thawaf. Alam berthawaf sebagai bukti ketaatannya kepada Allah. Secara jasmani, tubuh manusia pun taat pada hukum-Nya dengan terus berthawaf bersama alam tanpa bisa kita tolak. Namun secara ruhani, manusia berpotensi membangkang. Padahal, seperti halnya alam, manusia pun dalam salah satu tahapan perkembangannya di rahim telah berjanji untuk taat kepada Allah.

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak  Adam dari sulbi mereka dan Allah  mengambil kesaksian terhadap jiwa  mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi (QS 7:172)

Dengan merenungi ketaatan alam, thawaf pada ibadah haji dan umrah semestinya menyadarkan akan janji manusia tersebut. Tujuh kali mengitari kabah merupakan perlambang jumlah putaran yang tidak berhingga, terus menerus, seperti thawafnya alam semesta. Langit dan bumi adalah makluk fisik yang tidak berjiwa, tidak mempunyai kemampuan berkreasi. Mereka mengerjakan sebatas ‘program’ yang telah ditetapkan penciptanya, tidak ada kemampuan lebih dari itu. Karenanya ketika amanat diberikan Allah mereka menolaknya.

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh 
(QS 33:72).

Jasad manusia pun benda fisik yang tidak berbeda dengan alam. Unsur kimiawinya yang didominasi karbon, hidrogen, oksigen, dan nitrogen juga terdapat di alam. Gerakannya pun mengikuti hukum yang berlaku di alam. Bila terpeleset akan jatuh ke bawah, sama seperti jatuhnya batu. Bila mati akan terurai bersatu kembali dengan tanah.

Secara jasmaniah, manusia memang sudah terikat dengan janji ketika langit dan bumi diciptakan. Namun, manusia bukan sekadar jasmani, tetapi ada bagian ruhani yang menjadi ciri dasar kemuliaan dan kelebihan manusia dibandingkan makhluk lainnya.

Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan  makhluk yang telah Kami ciptakan.  (QS 17:70). 

Manusia dipercaya sebagai khalifah di bumi dan diberi pengajaran yang tidak diberikan kepada malaikat (QS 2:30-32), hingga malaikat pun diperintahkan Allah untuk bersujud.

Allah memang menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang  sebaik-baiknya. (QS 95:4). 

Namun keistimewaan itu bersyarat, bila sejumlah kelemahannya dapat dikendalikan agar tidak mendominasi. Manusia punya kecenderungan tidak sabar, banyak berkeluh kesah, dan kikir.

Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. (QS 70:19). 

Manusia juga lemah.

Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia  dijadikan bersifat lemah. (QS 4:28). 

Juga bersifat tergesa-gesa.

Dan manusia mendo’a untuk kejahatan sebagaimana ia mendo’a untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa.  (QS 17:11). 

Kelemahan-kelemahan seperti itu terkait dengan catatan Allah bahwa manusia itu zalim dan bodoh, walaupun sanggup memegang amanat yang berat (QS 33:72). Dengan segala potensi keunggulan dan kelemahannnya itu manusia pun bisa jatuh ke tempat yang serendah-rendahnya bila tidak disertai iman dan amal shalih.

Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka)  (QS 95:5). 

Thawaf saat berhaji yang menirukan gerakan langit dan bumi mengingatkan akan janji hakiki saat awal makhluk diciptakan-Nya. Alam semesta telah berjanji untuk taat kepada Allah. Manusia pun telah berjanji untuk bertauhid kepada-Nya. Namun manusia sering membangkang karena kejumudannya, kebekuan akalnya, hilang rasionalitasnya. Kebenaran ilahiyah kadang diabaikannya karena kesombongan duniawi yang ditonjolkan.


Memahami makna ibadah haji, membutuhkan pemahaman secara khusus sejarah Nabi Ibrahim dan ajarannya, karena praktek-praktek ritual ibadah ini dikaitkan dengan pengalaman-pengalaman yang dialami Nabi Ibrahim as. bersama keluarga beliau. Ibrahim as. dikenal sebagai "Bapak para Nabi", juga "Bapak monotheisme," serta "proklamator keadilan Ilahi" kepada beliaulah merujuk agama-agama samawi terbesar selama ini.

Para ilmuwan seringkali berbicara tentang penemuan-penemuan manusia yang mempengaruhi atau bahkan merubah jalannya sejarah kemanusiaan. Tapi seperti tulisan al-Akkad, "Penemuan yang dikaitkan dengan Nabi Ibrahim as. merupakan penemuan manusia yang terbesar dan yang tak dapat diabaikan para ilmuwan atau sejarawan, ia tak dapat dibandingkan dengan penemuan roda, api, listrik, atau rahasia-rahasia atom betapa pun besarnya pengaruh penemuan-penemuan tersebut, ... yang itu dikuasai manusia, sedangkan penemuan Ibrahim menguasai jiwa dan raga manusia."

Penemuan Ibrahim menjadikan manusia yang tadinya tunduk pada alam, menjadi mampu menguasai alam, serta menilai baik buruknya, penemuan yang itu dapat menjadikannya berlaku sewenang-wenang, tapi kesewenang-wenangan ini tak mungkin dilakukannya selama penemuan Ibrahim as. itu tetap menghiasi jiwanya ... penemuan tersebut berkaitan dengan apa yang diketahui dan tak diketahuinya, berkaitan dengan kedudukannya sebagai makhluk dan hubungan makhluk ini dengan Tuhan, alam raya dan makhluk-makhluk sesamanya ..."

"Kepastian" yang dibutuhkan ilmuwan menyangkut hukum-hukum dan tata kerja alam ini, tak dapat diperolehnya kecuali melalui keyakinan tentang ajaran Bapak monotheisme itu. Dengan demikian monoteisme Ibrahim as. bukan sekedar hakikat keagamaan yang besar, tapi sekaligus penunjang akal ilmiah manusia sehingga lebih tepat, lebih teliti lagi, lebih meyakinkan.
Apalagi Tuhan yang diperkenalkan Ibrahim as. bukan sekedar tuhan suku, bangsa atau golongan tertentu manusia, tapi Tuhan seru sekalian alam, Tuhan yang imanen sekaligus transenden, yang dekat dengan manusia, menyertai mereka semua secara keseluruhan dan orang per orang, sendirian atau ketika dalam kelompok, pada saat diam atau bergerak, tidur atau jaga, pada saat kehidupannya, bahkan sebelum dan sesudah kehidupan dan kematiannya.
Bukannya Tuhan yang sifat-sifat-Nya hanya monopoli pengetahuan para pemuka agama, atau yang hanya dapat dihubungi mereka, tapi Tuhan manusia seluruhuya secara universal.

Ajaran Ibrahim as. atau "penemuan" beliau benar-benar merupakan suatu lembaran baru dalam sejarah kepercayaan dan bagi kemanusiaan, walaupun tauhid bukan sesuatu yang tak dikenal sebelum masa beliau, demikian pula keadilan Tuhan, serta pengabdian pada yang hak dan transenden. Namun itu semua sampai masa Ibrahim bukan merupakan ajaran kenabian dan risalah seluruh umat manusia.
Di Mesir 5.000 tahun lalu telah dikumandangkan ajaran keesaan Tuhan, serta persamaan antara sesama manusia, tapi itu merupakan dekrit dari singgasana kekuasaan yang kemudian dibatalkan oleh dekrit penguasa sesudahnya.

Ibrahim datang mengumandangkan keadilan Ilahi, yang mempersamakan semua manusia dihadapan-Nya, sehingga betapa pun kuatnya seseorang. Ia tetap sama di hadapan Tuhan dengan seseorang yang paling lemah sekali pun, karena kekuatan si kuat diperoleh dari pada-Nya, sedangkan kelemahan si lemah adalah atas hikmah kebijaksanaan-Nya. Dia dapat mencabut atau menganugerahkan kekuatan itu pada siapa saja sesuai dengan hukum-hukum alam yang ditetapkan-Nya.
Keteladanan yang diwujudkan dalam bentuk ibadah tersebut dan yang praktek-praktek ritualnya berkaitan dengan peristiwa yang beliau dan keluarga alami, pada hakikataya merupakan penegasan kembali dari setiap jamaah haji, tentang keterikatannya dengan prinsip-prinsip keyakinan yang dianut Ibrahim, yang intinya adalah:

1. Pengakuan Keesaan Tuhan, serta penolakan terhadap segala macam dan bentuk kemusyrikan baik berupa patung-patung, bintang, bulan dan matahari bahkan segala sesuatu selain dari Allah swt.


2. Keyakinan tentang adanya neraca keadilan Tuhan dalam kehidupan ini, yang puncaknya akan diperoleh setiap makhluk pada hari kebangkitan kelak.


3. Keyakinan tentang kemanusiaan yang bersifat universal, tiada perbedaan dalam kemanusiaan seseorang dengan lainnya, betapa pun terdapat perbedaan antar mereka dalam hal-hal lainnya.



  Atom dan Partikel Sub-Atom sedang bertawaf

Perjalan haji diawali dengan niat untuk memenuhi panggilan Allah SWT. Niat memenuhi panggilan Allah ini disebut oleh Allah dengan perintah untuk merenungkan posisi dirinya sebagai manusia dan hambanya Allah. Perenungan ini diperintahkan Allah dilakukan di Arafah (Wukuf). Penempatan Wukuf di Arafah ini untuk dapat mengingat nenek moyang manusia yaitu Nabi Adam AS yang pertama kali hidup menyadari kesalahannya melanggar perintah Allah. 

Sesudah si hamba sadar tentang posisi dirinya dan misi yang akan diembannya serta niat yang telah dinyatakannya untuk memenuhi panggilan Illahi untuk kerumah-Nya Baitullah, maka selanjutnya Allah memerintahkannya untuk mentauladani perjalan Ibrahim beserta keluarganya yang telah berteguh hati mentauhidkan Allah sepanjang hidupnya walau senantiasa mengahadapi ujian yang berat. 

Sihamba diperintahkan untuk merealisasikan niatnya itu dengan mengikuti jalan Ibrahim meninggalkan Arafah menuju Muzdalifah. Sesampainya di Muzdalifah si hamba diperintahkan untuk bermalam sejenak sebagai persiapan diri baik secara mental maupun fisik untuk perjalanan menghampiri Allah SWT. Persiapan ini perlu dilakukan untuk menghampiri Allah akan dihadang oleh ujian, baik internal maupun eksternal. Ujian internalnya berupa keinginan-keinginan manusia, sedang ujian eksternalnya adalah setan yang akan selalu menghadangnya. 

Dua bentuk rintangan itu haruslah ditaklukan terlebih dahulu, barulah sihamba akan berhasil menghampiri Khaliknya Allah SWT. Penaklukan terhadap dua bentuk rintangan itulah yang diperintahkan oleh Allh SWT dalam bentuk mabit di Mina yang merupakan perlambang jauhnya dari kenyamanan hidup dan jauh dari apa yang diinginkan manusia dan melempar Jumrah selama di Mina. 

Dengan keberhasilan si hamba mengalahkan rintangan di Mina, maka ia harus dapat menghampiri Allah Azza wa Jalla dengan melakukan thawaf ke Baitullah Ka'bah. Akan tetapi sesaat ia telah menyelesaikan thawafnya yang merupakan perlambang penghampirannya kepada Allah, si hamba diperintahkan untuk tidak melupakan nasibnya dalam hidup di dunia ini dengan berusaha mencari karunia (rizki) dari Allah baik untuk dirinya maupun untuk orang-orang lain, yang hal ini diperlambangkan dengan amal sa'i, yang diambil dari peristiwa istri Nabi Ibrahim berkali-kali mencari air untuk kehidupannya dan bayi Ismail yang dilahirkannya. 

Siti Hajar telah berusaha tanpa berputus asa walau ia diuji dengan kegagalan demi kegagalan, dan pada akhirnya Allah memberikan karunia dari arah yang tidak disangkanya, yaitu di dekat bayi Ismail yang ditinggalkannya (berupa air Zam-zam). 

Demikian sebagai hikmah yang dapat dipetik dari Kisah Perjalanan Spiritual Nabi Ibrahim dan syariat peribadatan haji, semoga Allah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua.

Amin.

Do'a-Do'a Nabi Ibrahim
 "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui".
~QS Al-baqarah (2) Ayat 127~

"Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang."
~QS Al-Baqarah (2) Ayat 128~

Wallohualam Bissawab.

Sumber:

1. Prof. H. Thomas Djamaluddin, M.Sc., D.Sc.
Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, Deputi Sains, Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN).
2. Drs. H. Saeful Karim, M.Si.
(Dosen Termodinamika, Pendidikan Fisika Universitas Pendidikan Indonesia, Pendiri Pondok Pesantren Myskatul Anwar, Penasehat Spiritual Mentri, TNI-Polri dan Pemimpin Daerah )
3. Andi Muhammad Ali (Penulis Blog)
4. Achtal Basyuni, M.Pd. (Anggota Pusat Sumber Belajar SMA KEMENDIKBUD)
5. Ustadz H. Komarudin Kholil, M.Ag. (Pengajar di Pondok Pesantren Da'arut Tauhid, Bandung, Jawa Barat. Indonesia)