Saturday 20 July 2013

Kuliah Umum: Pidato Ilmiah John F. Kennedy

John F. Kennedy: Moon Speech (1962) 



Kuncinya Semangat Ilmiah dan Strategi Penerapan Kebijakan Sains Teknologi Melalui Pemudayaan Pendidikan Serta Kewirausahaan

"We choose to go to the moon. We choose to go to the moon in this decade and do the other things, not because they are easy, but because they are hard, because that goal will serve to organize and measure the best of our energies and skills, because that challenge is one that we are willing to accept, one we are unwilling to postpone, and one which we intend to win, and the others, too."
*Alm. John F. Kennedy*

Membangun masyarakat berbasis pengetahuan, saat ini telah menjadi keinginan hampir semua bangsa di dunia, baik yang tergolong maju maupun yang tengah berkembang dan terbelakang. 

Banyak negara kemudian berhasil, namun tidak sedikit yang masih kandas. Dalam meraih kemajuan berbasis Iptek, tiap negara telah menerapkan strategi dan taktik yang berbeda-beda, serta yang terpenting lagi adalah Politik Sains dan Teknologi yang memihak rakyat. 

Hal ini disebabkan karena strategi penerapan sains-teknologi sangat erat terkait dengan budaya dan sistem politik secara umum (termasuk politik ekonomi) suatu negara. Politik Sains dan Teknologi akan berdampak positif bagi perekonomian suatu bangsa manakala unsur-unsurnya saling menunjang satu sama lain (compatible), dan pelaksanaanya sangat didukung secara substansial (bukan hanya secara legal) oleh political power bangsa tersebut. 

Dan, yang tak kalah pentingnya adalah politik sains-teknologi yang tepat dan selaras itu dilaksanakan secara konsisten dari satu periode pemerintahan ke pemerintahan berikutnya.

Sebagai contohnya, ketika Presiden AS John F. Kennedy pada tahun 1960-an mengambil keputusan untuk membuat program “Pergi ke Bulan”, pada dasarnya ia telah menentukan Strategi Iptek bagi bangsanya dengan jangkauan visi jauh ke depan. 

Politik Iptek yang tampaknya tidak memberikan nilai ekonomis (karena mengandung sunk-cost) ini, dalam perkembangannya di kemudian hari berhasil menciptakan sistem ekonomi baru, yaitu sistem ekonomi berbasis ilmu pengetahuan (Knowledge Based Economy) dengan terobosan Iptek di bidang mikroelektronika, komputer, robotik, material baru, dan bioteknologi. 

Para Entrepreneur muda yang berbasis Iptek (Ilmuwan cum wirausahawan) AS memanfaatkan peluang ini dan berhasil membentuk para kapitalis/konglomerat kecil (golongan menengah) yang kuat, yang lahir dari proyek-proyek inkubator seperti di Silicon valley. 

Program ke Bulan juga dilaksanakan oleh Uni Soviet pada waktu itu, tetapi dampaknya tidak mampu menggerakan perekonomian nasionalnya seperti AS. 

Hal ini terutama disebabkan karena politik Iptek "Pergi ke Bulan” Uni Soviet tidak di dukung oleh sisitem politik dan ekonominya sehingga para pelaku ekonomi di negara tersebut tidak bisa memanfaatkan peluang yang ada. Dampak yang dirasakan terbatas pada pengembangan Iptek Perang. 

Masyarakat tidak bisa memetik buah dari politik Iptek itu karena kendala sistem politik dan sistem perkonomian yg tertutup sehingga tidak mungkin lahir entrepreneur yang mampau menangkap kesempatan pasar.

Lain halnya dengan Jepang, dengan kemampuan yang luar biasa dalam bidang Riset Terapan (Applied Research) mereka memilih cerminan politik Iptek “meniru” karena mampu menerapkan strategi: copiying to catch up tanpa mengembangkan (basic research) secara totalitas. 

Dengan cara ini Jepang mampu menjadi kekuatan ekonomi kompetitif, strategi Iptek meniru Jepang ini banyak diikuti oleh negara-negara maju baru, seperti Korea Selatan, China, Malaysia dan India. 

Bagaimana dengan Indonesia?

Penentuan Produk, Produksi atau golongan barang yang memenuhi persyaratan untuk menjalankan fungsinya sebagai wahana transformasi suatu bangsa dilakukan atas dasar pertimbangan kondisi geografis, kekayaan alam, laju perkembangan ekonomi, luas pasar dalam negeri dan faktor-faktor pendukung lainnya. 

Beberapa wahana Transformasi Iptek dalam Domain Ekonomi Industri yang perlu dikembangkan di tanah air. 

1. Industri Dirgantara 
2. Industri Maritim dan Perkapalan 
3. Industri Transportasi Darat (Kereta Api dan Otomotif) 
4. Elektronika, Komputer dan TIK 
5. Energi
6. Industri Rekayasa Manufaktur (Alat-alat dan mesin untuk mengolah sumber daya alam, energi, mineral dan hasil pertanian, juga mesin-mesin berat) 
7. Industri BioTek, Life Science dan Kesehatan 
8. Industri Pertahanan dan Keamanan

Semangat

Indonesia Bisa!

Bisakah Indonesia Membangun Banyak Laboratorium Nasional?

Laboratorium Nasional Departemen Energi Amerika Serikat adalah sebuah sistem fasilitas riset dan laboratorium yang dibiayai dan dikontrol oleh Departemen Energi Amerika Serikat (United States Department of Energy, DOE) dengan tujuan untuk meningkatkan sains dan membantu dalam bidang ekonomi dan pertahanan nasional Amerika Serikat.



"The atoms become like a moth, seeking out the region of higher laser intensity."
*Prof. Steven Chu, Ph.D. Nobel Prize Laureate in Physics and Former US Secretary of Energy*

Sistem terpusat laboratorium nasional tumbuh karena kebutuhan akan sains tingkat tinggi dalam Perang Dunia II, di mana teknologi baru seperti radar, komputer, "proximity fuze", dan bom atom terbukti penting dalam menentukan kemenangan Sekutu. 

Meskipun pemerintah Amerika Serikat telah mulai menginvestasikan dana besar dalam riset sains untuk keamanan nasional sejak Perang Dunia I, namun baru pada akhir 1930-an dan 1940-an jumlah sumber daya nasional ditingkatkan dan dilaksanakan serta diatur untuk masalah saintifik perang.

Di bawah bantuan National Defense Research Committee, dan kemudian oleh Office of Scientific Research and Development, maka laboratorium-laboratorium Nasional ini diatur dan diadministrasi oleh seorang teknisi MIT Alm. Prof. Vannevar Bush, D.Eng.

Alm. Prof. Vannevar Terkenal akan Kontribusinya dalam Pertumbuhan Sains di USA:
Beberapa Penemuannya:

Selama perang dunia ke-II, lokasi terpusat seperti Laboratorium Radiasi di MIT dan laboratorium Ernest O. Lawrence di University of California, Berkeley mengizinkan dan mengorganisasi ilmuwan ahli dalam jumlah besar bekerja sama menuju tujuan yang sangat jelas, dan menyediakan sumber daya pemerintah yang nyaris tak terbatas bagi para Ilmuwan. 

Dalam masa perang, usaha penelitian Iptek Nuklir Sekutu, yaitu Proyek Manhattan, menciptakan beberapa lokasi rahasia dengan tujuan penelitian bom dan pengembangan material, termasuk sebuah laboratorium di padang gurun New Meksiko yang dipimpin oleh Prof. Robert Oppenheimer di Los Alamos National Laboratory dan di Hanford, Washington dan Oak Ridge National Laboratory. 

Laboratorium Hanford dan Oak Ridge diadministrasi oleh universitas negara (Universitas California). 

Sukses pengembangan Laboratorium Nasional lainnya ada pada University of Chicago difokuskan dalam riset reaktor nuklir, dan pada institusi akademi lainnya yang tersebar di seluruh AS.

Prof. Bush attending a meeting at the University of California, Berkeley in 1940. From left to right: Ernest O. Lawrence,Arthur H. Compton, Bush, James B. Conant,Karl T. Compton, and Alfred L. Loomis

The United States Department of Energy currently operates 17 national laboratories:
Prof. Ernest Jeffrey Moniz (born December 22, 1944) is an American nuclear physicist, MIT Professor and the current and the 13th United States Secretary of Energy, serving under President Barack Obama since May, 2013.

Prof. Moniz received a Bachelor of Science degree summa cum laude in Physics from Boston College,
 a Doctorate in Theoretical Physics from Stanford University

Technology Centers

* GOCO (Government-Owned, Contractor-Operated)
** GOGO (Government-Owned, Government-Operated)

Saat ini Indonesia baru memiliki PUSPIPTEK | Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
di Serpong.



Bisakah Indonesia Membangun Banyak Laboratorium Nasional?