Friday 14 December 2012

Strategi Menghapus Senjata Pemusnah Massal III

Strategi Penghapusan Senjata Pemusnah Massal


Arms control is a term for restrictions upon the development, production, stockpiling, proliferation, and usage of weapons, especially weapons of mass destruction. Arms control is typically exercised through the use of diplomacy which seeks to impose such limitations upon consenting participants through international treaties and agreements, although it may also comprise efforts by a nation or group of nations to enforce limitations upon a non-consenting country.

On a national or community level, arms control can amount to programs to control the access of private citizens to weapons. This is often referred to as gun politics, as firearms are the primary focus of such efforts in most places.


Sejumlah Pemimpin Dunia Hadir dalam Acara Nuclear Security Summit
di Seoul Korea Selatan

Banyak sudah definisi yang diberikan kepada kata “pengawasan senjata” atau “arms control”.  Evans dan Newnham (1998: 33), misalnya, mendefinisikan “pengawasan senjata” sebagai upaya yang dilakukan dengan maksud membatasi kegiatan untuk memperoleh, mengembangkan serta menggunakan kemampuan militer.  Dougherty dan Pfaltzgraff, Jr (1990: 413), sebagai contoh lainnya, menyatakan bahwa “pengawasan senjata” merupakan  semacam kebijakan yang bertujuan membatasi atau mengatur kualitas disain, kuantitas produksi, metode pengembangan, perlindungan, pengawasan, penyerahan, perencanaan, ancaman maupun penggunaan kekuatan dan senjata militer.

Sebuah definisi lain menyatakan bahwa  “pengawasan senjata” merupakan sebuah istilah yang mengacu pada upaya pembatasan terhadap pengembangan, pembuatan, penimbunan, penyebarluasan serta penggunaan senjata, utamanya adalah  senjata pemusnah massal.

Dari tiga contoh definisi di depan, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya “pengawasan senjata” merupakan kebijakan yang bertujuan membatasi persenjataan: semenjak pembuatan sampai penggunaannya, baik yang menyangkut aspek kualitas maupun kuantitas.

Dengan adanya pembatasan persenjataan ini, maka diharapkan akan tercipta kondisi stabilitas militer.

Andaikata kondisi seperti ini terjadi, diperkirakan kekerasan dalam hubungan antar negara akan menurun dan kesempatan tercapainya perdamaian akan meningkat.

Ada kata/istilah  lain yang mempunyai hubungan dekat dengan pengawasan senjata, akan tetapi mempunyai pengertian berbeda, yakni “perlucutan senjata”. Menurut Dougherty dan Pfaltzgraff, Jr (1990: 413), “perlucutan senjata” adalah penghancuran senjata serta pelarangan pembuatan senjata pada masa yang akan datang. Sedangkan Evans dan Newnham (1998: 131) menyatakan bahwa “perlucutan senjata” itu merupakan proses sekaligus tujuan.

Sebagai suatu proses, perlucutan senjata mencakup di dalamnya pengurangan ataupun  penghapusan/ penghancuran system persenjataan tertentu. Sebagai tujuan, perlucutan senjata melingkupi di dalamnya pembentukan suatu dunia tanpa senjata serta pencegahan upaya mempersenjatai kembali dunia pada masa-masa selanjutnya.

Disamping mempunyai persamaan, antara pengawasan senjata dan perlucutan senjata juga mempunyai perbedaan.  Persamaannya, keduanya mempunyai tujuan memperkecil kemungkinan terjadinya perang. Para pendukung perlucutan senjata berasumsi jika senjata mengakibatkan terjadinya perang, maka dengan mengurangi jumlah senjata, kemungkinan terjadinya perang juga berkurang.

Sedangkan tujuan  pengawasan senjata, menurut para pendukungnya, adalah untuk menyetabilkan persaingan militer antar negara. Dalam suasana seperti ini, perasaan takut satu Negara terhadap Negara lain tidak begitu tinggi. Konsekwensinya, peluang terjadinya perang antar Negara tidak begitu tinggi pula.

Persamaan lain adalah keduanya bertujuan menurunkan anggaran pertahanan dan keamanan. Dengan melakukan pembatasan maupun pengurangan senjata, bahkan, memusnahkan senjata, maka biaya yang digunakan untuk keperluan militer mengalami penurunan. Sedangkan anggaran yang diperlukan untuk kebutuhan non militer bisa dinaikkan.

Sedangkan perbedaannya, perlucutan senjata jauh lebih ambisius dibandingakan dengan pengawasan senjata (Lamb 1988: 19 – 20).

Beberapa Pendekatan dalam Pengawasan dan Pelucutan Senjata.

Bahwa kegiatan pengawasan senjata telah berlangsung berabad-abad. Dengan demikian, tentu saja sudah banyak perjanjian yang dibuat  Negara yang berkepentingan dengan persoalan pengawasan senjata. Berikut disampaikan beberapa pendekatan utama yang berkaitan dengan pengawasan senjata.

Pertama, pendekatan kualitatif.  Dalam hal ini, dua Negara atau lebih yang terlibat di dalam perjanjian membuat kesepakatan menyangkut jenis persenjataan yang akan dibatasi. Sebagai contoh, pada waktu diselenggarakan World Disarmament Conference tahun 1932, Inggris mengajukan usulan penggolongan kualitas persenjataan menjadi dua, yakni senjata offensive dan senjata defensive (Hughes 1994: 135). Ada upaya pada waktu itu untuk memasukkan senjata kimia dan biologi ke dalam senjata offensive.

Kesepakatan pengawasan senjata internasional yang telah dicapai dan berkaitan dengan pendekatan kualitatif, contohnya, adalah Chemical Weapons Treaty tahun 1992. Traktat  yang bersifat multilateral ini berisi kesepakatan berbagai Negara untuk menghentikan produksi serta meniadakan penimbunan senjata-senjata kimia. Terlebih dari itu, traktat ini juga menyepakati adanya ijin inspeksi di lapangan terhadap senjata-senjata yang dicurigai sebagai senjata kimia.

Contoh lainnya adalah Environmental Modification Traety yang disepakati tahun 1977. Traktat tersebut berisi ketentuan bahwa Negara-negara penandatangan tidak akan membuat senjata yang akan dapat mengubah atau merusak lingkungan.

Kedua, pendekatan kuantitatif. Dalam hal ini, Negara-negara peserta perjanjian sepakat untuk membatasi jumlah persenjataan yang dibuat ataupun yang dimiliki. Tahun 1922, sebagai contoh, the Washington Naval Conference menyetujui adanya pembatasan produksi kapal perang serta pesawat pengangkut untuk sepuluh tahun kemudian.  Contoh lainnya, pada tahun 1990 NATO dan Pacta Warsawa menandatangani Agreement on Conventional Armed Forces in Europe (CFE). Disitu mereka sepakat untuk membatasi serta mengurangi secara substansial senjata  mereka masing-masing  sampai pada level tertentu.

Ketiga, pendekatan anggaran atau budgetair. Menurut perjanjian ini, Negara-negara yang terlibat dalam perundingan sepakat untuk membatasi anggaran atau budget pertahanan masing-masing. Akan tetapi, pada umumnya dalam perjanjian ini, Negara-negara peserta menentukan sendiri-sendiri batas anggaran yang mereka anggap layak.

Pada waktu diadakan Konferensi Den Haag tahun 1899, misalnya, Rusia mengusulkan pembekuan (tidak ada penambahan) anggaran pertahanan tiap-tiap Negara selama lima tahun ke depan. Sedang antara tahun 1963 – 1965, AS dan Uni Soviet pernah membicarakan pengurangan anggaran secara timbal balik. Bahkan, wakil Uni Soviet, dalam sebuah sidang Perserikatan Bangsa Bangsa pernah mengusulkan pengurangan anggaran pertahanan sebesar 10%.

Keempat, pendekatan kewilayahan. Mengacu pada perjanjian ini, Negara-negara sepakat mengadakan pengurangan ataupun pembatasan persenjataan di wilayah-wilayah tertentu. Pada tahun 1967, misalnya, 84 negara menandatangani the Outer Space Treaty. Traktat tersebut berisi larangan  penggunaan senajata nuklir di ruang angkasa. Delapan Negara, sebagai contoh lainnya, menandatangani sebuah perjanjian yang diberi nama South Pacific Nuclear Free Zone. Perjanjian yang ditandatangani tahun 1985 itu berisi ketentuan bahwa wilayah Pasifik Selatan merupakan wilayah yang bebas dari segala macam bentuk senjata nuklir.

Kelima, pendekatan komunikasi dan administrasi. Yang dimaksudkan disini adalah bahwa  untuk meredakan ketegangan  internasional,  maka perlu disediakan fasilitas komunikasi dan prosedur kerjasama antar Negara (Lamb 1988: 41). Sebagai konsekwensi munculnya Krisis Kuba 1962, maka AS dan Uni Soviet sepakat membentuk “hotline”. Kesepakatan yang dibuat tahun 1963 tadi memungkinkan pemimpin puncak kedua Negara untuk melakukan kontak secara langsung manakala mereka harus segera menyelesaikan persoalan penting dan mendesak. Dengan cara seperti ini, maka ketegangan internasional dan berbagai konsekwensinya bisa dikurangi.

Keenam, pendekatan pembangunan kepercayaan. Yang dilakukan Negara-negara yang melaksanakan pendekatan ini adalah menciptakan  keterbukaaan, transparansi serta prediktabilitas. Dengan dipaparkannya kemampuan militer sebuah Negara secara obyektif kepada Negara lain maupun diijinkannya sebuah Negara melakukan inspeksi terhadap fasilitas militer Negara lain, berarti tercipta keterbukaan/transparansi  diantara mereka. Selain itu, adanya kemampuan suatu Negara meramalkan secara pasti/tepat keputusan politik Negara lain berdasar prosedur baku yang berlaku, menunjukkan adanya unsur prediktabilitas.

Keterbukaan atau transparansi serta prediktabilitas seperti ini akan memungkinkan meningkatnya rasa saling percaya antar Negara. Konsekwensinya, ketegangan antar Negara bisa diredakan. Pada tahun 1975, umpamanya, antara NATO dan Pakta Warsawa menyelenggarakan Conference on Security and Cooperation in Europe (CSCE). Dalam konperensi itu, mereka sepakat memberitahu satu sama lain 21 hari sebelumnya bila lebih dari 25 ribu pasukan mereka melakukan latihan. Disamping itu, dalam konperensi tersebut mereka sepakat dengan adanya pengawas yang berfungsi memonitor manuver pasukan yang tengah melakukan latihan militer.

Ketujuh, pendekatan horizontal dan vertikal. Bila dua Negara atau lebih sepakat melakukan pembatasan secara kualitatif dan kuantitatif pembuatan dan pengembangan senjata, maka hal ini disebut sebagai pendekatan vertikal dalam pengawasan senjata. Sedangkan bila dua Negara atau lebih sepakat untuk membatasi penjualan/pemberian senjata kepada Negara lain, maka hal ini dianggap sebagai pendekatan horizontal dalam pengawasan senjata. Contoh yang paling jelas dari pendekatan horizontal adalah the Nonproliferation Treaty (NPT), yang bermaksud mencegah Negara–negara yang tidak memiliki senjata nuklir untuk memperolehnya.

Langkah-langkah yang telah dilakukan oleh International Atomic Energy Agency (IAEA) perlu ditiru organisasi-organisasi lain misalnya membuat perjanjian pengubahan sejumlah hulu ledak nuklir menjadi energi dan sejumlah bahan yang dapat digunakan bagi kesejahteraan umat manusia.

Membangun Kode Etik Ilmuwan

Merupakan suatu tatanan etika yang telah disepakati oleh suatu kelompok Ilmuwan. Kode etik umumnya termasuk dalam norma sosial, namun bila ada kode etik yang memiliki sanksi yang agak berat, maka masuk dalam kategori norma hukum.

Kode Etik juga dapat diartikan sebagai pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis dalam melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan. Kode etik merupakan pola aturan atau tata cara sebagai pedoman berperilaku. Tujuan kode etik agar profesional memberikan jasa sebaik-baiknya kepada pemakai atau masyarakat luas.

Adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang tidak profesional. Maka Ilmuwan di seluruh dunia harus bersepakat bahwa mereka tidak akan mengembangkan penelitian atau riset mendalam yang menyebabkan kehancuran total bagi umat manusia.


Penulis, Guru, Ilmuwan Muda dan Teman-teman bersama Prof. Toshio Wakabayashi, M.Sc., Ph.D.
 beliau merupakan Seorang Ahli dalam Penanganan Bencana Nuklir juga 
Profesor Emeritus Fisika Nuklir di Tohoku University, Jepang.

Penutup

Berbagai perjanjian internasional telah dilakukan untuk membatasi jumlah maupun jenis senjata yang diproduksi maupun digunakan. Banyak pendekatan yang dibuat untuk mengawasi persenjataan yang diproduksi. Semuanya ini dimaksudkan untuk menciptakan stabilitas militer sekaligus meredam kekerasan internasional. Namun demikian, berbagai peristiwa sejarah menunjukkan bahwa banyak perjanjian internasional yang berkaitan dengan pengawasan senjata tidak dengan sendirinya  menciptakan stabilitas dan meredakan ketegangan antar bangsa. Perang dan kekerasan masih banyak dijumpai di berbagai penjuru dunia dan nampaknya terlalu sulit dihindarkan.

Namun kita mesti optimis bahwa senjata-senjata berbahaya di dunia ini lambat laun dapat dikurangi dan dihilangkan sama sekali dari muka bumi.

Bila nafsu keinginan sudah tidak bisa terkendalikan, ia tidak lagi peduli dengan kebaikan dirinya, atau bahkan kehancuran seluruh bumi. Perang yang sesungguhnya adalah perang melawan diri sendiri, bagaimana menaklukan hawa nafsu pribadi dan mengendalikannya, pada akhirnya segala macam keuunggulan manusia tidaklah berarti apa-apa bila tidak dibarengi dengan pengendalian diri yang baik.

Jika kita saling memahami dan berkasih sayang antar sesama, menaruh kebencian dan permusuhan kedalam kotak Pandora, bukan hal yang mustahil kita dapat berdampingan bersama, penuh dengan perdamaian keadilan dan kesejahteraan.

Semoga perdamaian milik kita semua.

Dengan demikian, ajakan penggunaan senjata pemusnah massal ini adalah ajakan yang tidak benar. Menyebarkan pemikiran seperti ini dan mengajak orang untuk mengikutinya adalah termasuk tindakan membuat kekacauan, kejahatan dan kerusakan di bumi yang dilarang dan diancam dengan azab yang pedih oleh Allah.

"Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-nya telinga mereka dan dibutakan-nya penglihatan mereka.” 
~Q.S. Muhammad (47) : 22 - 23)~

Wallahu a'lam.

Ucapan Terima Kasih:

1. Bapak Drs. Tri Cahyo Utomo, M.A. at Diponegoro University, atas Tulisannya: PENGAWASAN SENJATA INTERNASIONAL dan PENGURANGAN KEKERASAN
2. Kak Rezy Pradipta, M.Sc., Ph.D. (Alumni Tim Olimpiade Fisika Indonesia, Nuclear Engineering at MIT)

3. Dr. Yukiya Amano (天野 之弥 ) is the current Director General of the International Atomic Energy Agency (IAEA) & Dr. Mohamed Mustafa ElBaradei, J.S.D. (Former Director General of IAEA)

4. Prof. Mujid S. Kazimi, Ph.D. (Director, Center for Advanced Nuclear Energy Systems MIT)

5. Kak Iqbal Robiyana, S.Pd., Teh Nina Widiawati, S.Pd. dan Teh Fitria Miftasani, S.Pd. Alumni Pendidikan Fisika FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia, Mahasiswa Pascasarjana Fisika Konsentrasi Fisika Nuklir ITB dan Founder Center for Nuclear Education at Indonesia University of Education

6. Dr. Petros Aslanyan, M.Sc. (Joint Institute for Nuclear Research, Rusia & Yerevan State University)
7. Prof. Djarot Sulistio Wisnubroto, M.Sc., Ph.D. President Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN)