An air force, also known in some countries as an air army, is in the broadest sense, the national military organization that primarily conducts aerial warfare. More specifically, it is the branch of a nation's armed services that is responsible for aerial warfare as distinct from an army, navy or other branch. Typically, air forces are responsible for gaining control of the air, carrying out strategic and tactical bombing missions and providing support to surface forces.
The term "air force" may also refer to a tactical air force or numbered air force, which is an
operational formation either within a national air force or comprising
several air components from allied nations. Air forces typically consist
of a combination of fighters, bombers, helicopters, transport planes and other
aircraft.
Many air forces are also responsible for operations of military space,
intercontinental ballistic
missiles (ICBM), and communications equipment. Some air forces may
command and control other air defence assets such as antiaircraft
artillery, surface-to-air missiles, or anti-ballistic missile warning
networks and defensive systems. Some nations, principally Russia, the
former Soviet Union and countries who modelled their militaries along
Soviet lines, have an Air Defence Force which is organizationally
separate from their air force.
In addition to pilots, air forces have ground support staff who
support the aircrew. In a similar manner to civilian airlines, there are
supporting ground crew as pilots cannot fly without the assistance of
other personnel such as engineers, loadmasters, fuel technicians and
mechanics. However, some supporting personnel such as airfield defence
troops, weapons engineers and air intelligence staff do not have
equivalent roles in civilian organizations.
Agresi Militer Belanda I
Kegagalan Perundingan Linggajati antara Sekutu (Inggris), Belanda (NICA) dan Republik Indonesia, merupakan pemicu terjadinya Agresi Militer Belanda yang pertama. Belanda yang merasa dirinya lebih kuat, pada 21 Juli 1947 melaksanakan agresinya dibeberapa wilayah republik Indonesia, baik di Jawa maupun Sumatera. Tujuan agresi militer tersebut adalah untuk menduduki seluruh Jawa Barat, kota-kota besar di Jawa seperti Semarang dan Surabaya, serta daerah perkebunan dan minyak di Sumatera seperti Deli, Palembang dan sekitarnya.
Dalam melaksanakan agresinya, Belanda berusaha mengintimidasi dan memaksa kedudukan Indonesia makin mundur ke pedalaman, serta menghancurkan potensi-potensi kekuatan udara Republik Indonesia diberbagai daerah. Seluruh pangkalan udara Republik Indonesia diserang secara serempak, mereka bergerak dengan mengandalkan pesawat-pesawat tempur P-5 Mustang dan P-40 Kitty Hawk serta pesawat pembom B-25/B-26. Penyerangan terhadap pangkalan-pangkalan udara Republik Indonesia, yang saat itu masih dalam proses perintisan, tentunya dimaksudkan untuk menghilangkan atau mengurangi kemampuan Angkatan Udara Republik Indonesia, sehingga tidak mempunyai kesempatan untuk mengadakan serangan udara terhadap Belanda.
Demikian pula halnya dengan Pangkalan Udara Maguwo Yogyakarta, tidak luput dari sasaran serangan Belanda.
Serangan Belanda di Pangkalan Udara Maguwo, dilaksanakan secara bergelombang. Serangan awal dilancarkan pada pagi hari tanggal 21 Juli 1947, tetapi serangan awal ini mengalami kegagalan, karena secara kebetulan cuaca di atas kota Yogyakarta berkabut tebal sehingga Belanda tidak mampu melaksanakan serangan. Kegagalan tersebut tidak mengurangi usaha Belanda untuk menghancurkan Maguwo, karena pada siang harinya Belanda menyerang kembali. Selama 40 menit, empat buah pesawat pemburu Belanda menyerang dengan menjatuhkan beberapa bom di atas lapangan terbang Maguwo dan Wonocatur, yang menyebabkan timbulnya kebakaran di beberapa tempat, namun pesawat yang telah disembunyikan sebelumnya luput dari serangan Belanda.
Pukul 14.10 WIB tanggal 23 Juli 1947, Belanda kembali menyerang lapangan terbang Maguwo. Pesawat-pesawat pemburu Belanda melepaskan tembakan mitraliur dan menjatuhkan granat tangan. Serangan Belanda ini mendapat perlawanan dari anggota AURI, satu pesawat Belanda kena tembak dan melarikan diri. Dua hari berikutnya, yakni pada 25 Juli 1947 pukul 14.30 WIB, kembali Maguwo diserang oleh dua pesawat P-40 Kitty Hawk Belanda. Meskipun demikian perlawanan kita dari bawah tidak kendor sedikitpun. Dalam pertempuran ini satu pesawat Belanda terkena tembakan pasukan penangkis serangan udara dan melarikan diri kearah Solo.
Menjelang Magrib tanggal 25 Juli 1947, Belanda kembali melancarkan serangan berikutnya.
Kali ini AURI mengalami kerugian yang sangat besar, karena pesawat-pesawat tempur Belanda menemukan pesawat-pesawat AURI yang sedang di run up. Pada serangan yang kelima kalinya ini, beberapa pesawat Cukiu dan Cureng AURI hancur, bahkan satu-satunya pesawat pembom AURI yang tersisa, yaitu Pangeran Diponegoro I ikut hancur.
Serangan-serangan Belanda yang tidak beraturan tersebut, menunjukan bahwa Belanda berusaha keras untuk melumpuhkan dan menghancurkan kekuatan udara Republik Indonesia.
Penghancuran sasaran yang diperkirakan menjadi tulang punggung kekuatan udara Republik Indonesia, dianggap Belanda sebaga salah satu cara terbaik dalam mencegah Pangkalan Udara Republik Indonesia untuk melakukan serangan, yang akan mengancam kedudukan maupun menyerang daerah yang baru saja diduduki Belanda.
Serangan udara Belanda atas kekuatan udara Republik Indonesia dapat dikatakan berhasil, sebagian besar hasil pembinaan kekuatan udara Republik Indonesia yang telah dibangun selama kurang lebih dua tahun setelah kemerdekaan hampir dapat dilumpuhkan.
Beberapa pangkalan udara di Pulau Jawa dapat diduduki, Pangkalan Udara Bugis (Malang) dan Kalijati dapat dikuasai Belanda, selain itu pesawat terbang yang ada di Pangkalan Udara Maospati, Panasan, dan Cibeureum banyak yang dihancurkan Belanda, sedangkan di Pangkalan Udara Maguwo hanya tersisa dua Cureng, satu Guntei dan satu Hayabusa.
Sumber:
TNI AU
No comments:
Post a Comment