Sunday, 9 June 2013

Seven Sisters: Perusahaan-Perusahaan Energi Terbesar Dunia

Usai Perang Dunia II, perusahaan perminyakan/Energi multinasional mulai mengembangkan usahanya di negara dunia ketiga. Perusahaan-perusahaan terkemuka yang mendominasi produksi, pengolahan, dan distribusi migas waktu itu dikenal dengan sebutan ”The Seven Sisters”. 


Mengunjungi Perusahaan Chevron, Pertamina dan Indonesia Power

Untuk melindungi kepentingan nasional, negara-negara berkembang kemudian mendirikan perusahaan minyak nasional dengan tujuan mengurangi ketergantungan pada perusahaan multinasional untuk pemasokan migasnya. Lahirnya perusahaan minyak nasional juga memberikan pengetahuan industri perminyakan yang bermanfaat meningkatkan kemampuan pemerintah dalam menilai kinerja perusahaan multinasional di negaranya.

Pada awal 1960, Timur Tengah mulai mengambil alih kontrol perminyakan dunia melalui Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC). Awalnya OPEC didirikan sebagai protes atas usaha ”The Seven Sisters” untuk menurunkan harga minyak yang sangat merugikan negara produsen, dan akhirnya benar-benar menguasai produksi, pengolahan dan distribusi minyak pada tahun 1970. Pamor ”The Seven Sisters” pun mulai meredup.

The Old Seven Sisters

The "Seven Sisters" was a term coined in the 1950s by businessman Enrico Mattei, then-head of the Italian state oil company Eni, to describe the seven oil companies which formed the "Consortium for Iran" cartel and dominated the global petroleum industry from the mid-1940s to the 1970s. 


Prior to the oil crisis of 1973, the members of the Seven Sisters controlled around 85% of the world's petroleum reserves, but in recent decades the dominance of the companies and their successors has declined as a result of the increasing influence of the OPEC cartel and state-owned oil companies in emerging-market economies.

Sekilas Sejarah

Pada kurun waktu sekitar tahun 1920-an hingga 1970-an, di industri perminyakan dikenal sebutan The Seven Sister, yaitu tujuh perusahaan minyak terbesar saat itu. 

Julukan The Seven Sister pertama kali dikemukakan oleh pengusaha asal Italia, Enrico Mattei. Enrico merujuk pada perusahaan-perusahaan yang mendominasi produksi, pengolahan dan distribusi minyak saat itu. 

Tujuh perusahaan tersebut terdiri atas 3 perusahaan minyak yang merupakan pecahan dari Standard Oil plus 4 perusahaan minyak lainnya. 

Ke-tujuh perusahaan minyak/energi itu adalah:
1. Standard Oil of New Jersey (ESSO) 
2. Standard Oil of New York (SOCONI) kemudian berubah nama menjadi Mobil Oil
4. Standard Oil of California, kemudian berubah nama menjadi Chevron 
5. Royal Dutch Shell 
6. British Anglo-Persian Oil Company (APOC) kemudian berubah nama jadi BP 
7. Gulf Oil Texaco Esso kemudian merger dengan Mobil Oil sehingga menjadi ExxonMobil. 

Sedangkan Chevron gabung dengan Texaco menjadi CHEVRONTEXACO. Dengan demikian The Seven Sister yang semula tujuh perusahaan menjadi lima perusahaan, yaitu:

1. ExxonMobil 
2. ChevronTexaco [Chevron Corporation]
3. Shell 
4. BP 
5. Gulf Oil

The New Seven Sisters

The Financial Times has used the label the "New Seven Sisters" to describe a group of what it argues are the most influential national oil and gas companies based in countries outside of the OECD.
According to the Financial Times this group comprises:

Perusahaan-Perusahaan tersebut itulah yang hampir menguasai 90% Energi Dunia saat ini.




Dimana posisi Pertamina dan perusahaan energi swasta Indonesia?

Dalam daftar yang dibuat United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), semua perusahaan energi itu, kecuali Aramco, masuk dalam daftar 19 perusahaan minyak terbesar dunia dengan operasi secara global. Aramco tidak masuk karena sebagian besar kegiatan eksplorasi dan produksi dilakukan di dalam negerinya sendiri.

Di mana posisi Pertamina?


Tidak masuk hitungan!


Dari sisi kepemilikan saham di kegiatan produksi minyak asing, peran BUMN-BUMN minyak Asia, menurut laporan The Role of Asian Oil Companies, memang masih kecil, sekitar 2 persen dari produksi minyak global pada 2005- 2006. Mereka diperkirakan juga belum akan menjadi ancaman bagi perusahaan minyak raksasa dari negara maju dalam pasokan ke pasar dalam waktu dekat.

Namun, ketujuh perusahaan itu kini menguasai sekitar sepertiga produksi serta cadangan minyak dan gas dunia. Sebagai gambaran betapa strategisnya posisi mereka, ”The Seven Sisters” dari negara maju yang sekarang— yang kemudian menciut menjadi empat karena konsolidasi di antara mereka pada tahun 1990-an (menjadi ExxonMobil, Chevron, BP, dan Shell) hanya memproduksi sekitar 10 persen produksi minyak dan gas dunia serta menguasai sekitar 3 persen cadangan minyak dan gas dunia.

Badan Energi Internasional (EIA), memprediksikan 90 persen pasokan minyak dunia dalam 40 tahun ke depan akan datang dari para pemain negara-negara berkembang ini. Ini membalikkan kondisi 30 tahun terakhir di mana 40 persen pasokan minyak dunia berasal dari negara-negara maju, dengan generasi kedua The Seven Sisters sebagai sebagai operator utama.

Para pemain baru dari negara berkembang mulai mengalahkan pemain-pemain lama dalam agresivitas akuisisi saham perusahaan-perusahaan minyak dari berbagai negara. Aktivitas mereka ikut meramaikan demam perburuan minyak di tengah krisis harga minyak yang hampir menyeret perekonomian global dalam resesi akhir-akhir ini.

Motifnya untuk China lebih untuk mengamankan kebutuhan energi skala masif perekonomian mereka di masa depan. Sementara, ekspansi BUMN- BUMN migas Rusia lebih banyak dilandasi oleh kepentingan mengamankan akses pasar, terutama di negara maju, melalui kegiatan terintegrasi di hulu.

Siapa Paling Berhasil?

Dengan menguasai 25 persen cadangan minyak dunia dan kapasitas produksi hampir tiga kali lipat dari pesaing terdekat, ARAMCO, yang merupakan BUMN minyak Arab Saudi, sekarang ini bisa dikatakan sebagai perusahaan minyak nasional paling berhasil di dunia.

Kendati lapangan terbesarnya mulai menua, BUMN ini masih menempati posisi teratas produksi minyak dunia, disusul BUMN migas Rusia (Gazprom) dan BUMN migas Iran (NIOC).



Berbeda dengan Aramco, BUMN-BUMN dari China dan Rusia jauh lebih agresif dalam melakukan ekspansi di luar wilayahnya. Data UNCTAD (World Investment Report 2007), investasi BUMN- BUMN minyak China sudah menyebar di lebih dari 46 negara, kebanyakan di negara-negara berkembang, meliputi kegiatan eksplorasi, produksi, transportasi, pengilangan, hingga kontrak jasa.

Meski gagal mengakuisisi perusahaan minyak AS, Unocal, CNPC menyabet sejumlah kontrak besar di negara maju, termasuk Australia dan Kanada.

BUMN-BUMN China ini bersaing dengan perusahaan-perusahaan minyak Rusia yang beberapa tahun terakhir aktif dalam proyek eksplorasi dan eksploitasi di sejumlah negara bekas Uni Soviet (CIS) atau negara berkembang lain yang memiliki keterkaitan sejarah panjang dengan Federasi Rusia.

Sebagian dari hak kuasa penambangan yang dipegang Rusia sekarang ini diwarisi dari Uni Soviet sebelum pecah. Bukan hanya ekspansi secara internasional, BUMN-BUMN minyak Rusia secara agresif juga mulai ”menasionalisasi” proyek-proyek migas dan energi penting di negaranya yang semula dikuasai oleh pemain-pemain Barat.

Petronas juga tidak mau kalah. Sepak terjang perusahaan ini termasuk spektakuler. BUMN ini baru mulai melakukan ekspansi internasional tahun 1990- an. Dimulai dari negara-negara tetangga terdekat di Asia Tenggara, Petronas kini sudah mengembangkan sayap ke lebih dari 33 negara.

Petronas mulai terjun ke kegiatan di sektor hulu di luar Asia Tenggara pada tahun 1996, dengan mengakuisisi perusahaan pengilangan di Afrika Selatan. Disusul eksplorasi di negara Afrika lain seperti Sudan (1999), Gabon (1999), Chad (2000), Kamerun (2000), Aljazair (2001), Mozambik (2002), Etiopia (2003), dan Niger (2005).

BUMN ini juga terlibat dalam konstruksi jaringan pipa dan pengembangan jaringan stasiun pengisian bahan bakar (SPBU) di berbagai negara, seperti China, India, Argentina, Afrika Selatan, Sudan, dan Inggris. Sekitar 30 persen pendapatan Petronas diperoleh dari operasi di luar negeri dan dari hampir seratus lapangan minyak yang dikelola, sekitar 50 sudah berproduksi.


Kendati tidak seagresif China dan Malaysia, Thailand juga tak mau ketinggalan. PTT, BUMN minyak negara ini, mulai ekspansi di luar negeri akhir 1990-an. Meski konsentrasi investasinya masih di sekitar kawasan Asia Tenggara, beberapa tahun terakhir PTT mulai mengikuti jejak Malaysia melalui joint venture eksplorasi dengan perusahaan minyak lain di Asia Barat dan Afrika. PTT juga menjadi pemain penting dalam pembangunan proyek jaringan pipa trans-ASEAN.


Demam ekspansi global juga menghinggapi negara Asia lain seperti India dan Korea Selatan, dan negara berkembang di luar Asia. Dua perusahaan minyak India, ONGH Videsh dan Indian Oil Corporation, masing-masing sudah memproduksi minyak dari lapangan di Rusia (proyek Sakhalin 1) dan Libya.

Korsel melalui BUMN KNOC juga sudah menggarap proyek pengembangan 26 lapangan minyak di 14 negara. Tahun lalu, perusahaan ini melakukan ekspansi di Australia, Kazakstan, Nigeria, Rusia, dan Yaman. Sementara Petrobras dari Brasil mulai produksi di delapan negara dan terlibat dalam kegiatan eksplorasi dan investasi di sektor hulu di 10 lokasi lainnya.

Satu dekade terakhir menjadi saksi metamorfosa dramatis BUMN-BUMN minyak dari berbagai negara berkembang Asia. Dari semula pemain lokal, mereka menjelma jadi pemain global yang terus merangsek ke atas dalam jajaran TNCs terbesar dunia.

Sepak terjang mereka memudarkan dominasi pemain global negara maju dan mengukuhkan hipotesa abad ke-21 sebagai abad kejayaan Asia, milik Asia.

Sayang, Indonesia dengan BUMN migas Pertamina-nya ketinggalan gerbong dalam eforia ini.




Tapi Kita Tidak Boleh Berputus Asa.


Perbaiki Kinerja PERTAMINA Hingga menjadi perusahaan Energi Terbaik di ASEAN

Perbanyak Perusahaan Energi Swasta Kita dengan melahirkan banyak para Wirausahawan Energi Lokal.

Siapakah yang diuntungkan oleh kenaikan harga Energi ini?

Sepertinya kita semua sudah tahu itu.

No comments: