Friday, 21 June 2013

Mencari Bumi yang Lain: After Earth

"Fear is not real. It is a product of thoughts you create. Do not misunderstand me. 
Danger is very real. But fear is a choice."
*After Earth*


Film After Earth sudah tayang di Indonesia mulai 5 Juni 2013 lalu.

Sudahkah Anda menonton?

Di Amerika, film yang disutradarai oleh M Night Shyamalan serta dibintangi oleh Will Smith dan putranya, Jaden Christopher Syre Smith, ini mendapat banyak kritik. Selain soal penghasilannya yang tergolong relatif minim, ada yang mengatakan bahwa film ini adalah propaganda Saintologi.

Yang lebih menarik tentu adalah After Earth dan sains.

Dalam film tersebut, dikisahkan bahwa manusia sudah hidup di planet lain bernama Nova Prima. Bumi sudah tak dapat ditinggali lagi karena sudah mengalami kerusakan akibat bencana besar yang dialami.

Cypher Raige (Will Smith) dan Kitai (Jaden Smith) melakukan perjalanan antariksa, tetapi terhadang oleh badai asteroid.

Akibat badai asteroid, keduanya terpaksa mendarat di sebuah planet yang ternyata adalah Bumi. Saat itu, sudah 1000 tahun sejak bencana besar yang dialami Bumi terjadi. Bumi saat itu sudah tak seperti saat ini.

Digambarkan, Bumi minim oksigen. Manusia harus menggunakan oksigen cadangan yang dihirup dengan cara mirip menghirup obat asma.

Lingkungan Bumi menjadi ancaman. Hewannya raksasa dan buas. Selain itu, perbedaan siang dan malam sangat ekstrem. Siang panas, malam bersalju. Untuk bertahan, manusia harus menemukan titik panas di beberapa wilayah Bumi agar tak membeku dan mati.

Nah, mungkinkah kondisi Bumi seperti dalam "After Earth" menjadi nyata? 

Mungkinkah manusia tak tinggal di Bumi lagi?

Seorang Astronom Bapak Ma'rufin Sudibyo, yang aktif mempelajari benda langit, fenomena astronomi, dan kosmologi serta Pak Ferry M Simatupang, astronom Institut Teknologi Bandung, yang juga pengajar astronomi dan lingkungan, memberikan komentar.

Pada dasarnya, ada banyak gambaran dalam "After Earth" yang perlu dikritik, tak bisa ditelan mentah-mentah.

Contoh, Bumi yang menjadi minim oksigen. Menurut Pak Ma'rufin, Bumi yang minim oksigen dan kaya karbon dioksida mungkin saja terjadi, tetapi sangat sulit. Saat ini, konsentrasi oksigen 21 persen dan karbon dioksida kurang dari 1 persen.

"Agar manusia perlu memakai masker udara, kadar CO2 perlu ditingkatkan jadi paling tidak 10 persen. Apakah bisa terjadi kadar CO2 di atas 10 persen? Secara teori bisa, tetapi sulit terjadi," urai Pak Ma'rufin.


Pak Ma'rufin Sudibyo, S.T. dalam Acara Pertemuan Himpunan Astronom Indonesia

Namun, meski sulit, bukan berarti tidak mungkin. Manusia kini berperan besar dalam perubahan di Bumi.


Pak Ferry mengungkapkan, atmosfer Bumi pada awalnya mirip dengan atmosfer Mars dan Venus. Kadar CO2 bisa mencapai 95 persen. Kadar CO2 kemudian berkurang karena di Bumi berkembang makhluk hidup.

"Makhluk hidup awal dan tumbuhan berperan menyerap CO2. CO2 yang besar kemudian disimpan dalam sel makhluk hidup," jelas Pak Ferry.

Namun, dengan pemakaian bahan bakar fosil saat ini, kondisi serupa seperti sejarah awal Bumi bisa terjadi lagi. Menurut Ferry, manusia adalah aktor utama dalam perubahan Bumi di masa mendatang.

"Apa yang manusia sekarang lakukan adalah mengembalikan CO2 yang semula tersimpan ke atmosfer lagi," katanya.

Meski latar Bumi minim oksigen cukup masuk akal, latar lain dalam "After Earth" sangat sulit terjadi. Misalnya, adanya makhluk hidup berukuran raksasa setelah 1000 tahun Bumi ditinggalkan manusia akibat bencana.

"Kalau manusia sampai harus meninggalkan, logikanya habitatnya sangat rusak. Waktu 1000 tahun belum cukup untuk memunculkan makhluk hidup ukuran besar. Kalaupun ada makhluk hidup, pasti masih berukuran kecil," ungkap Pak Ferry.

Latar lain adalah perbedaan siang malam yang ekstrem. Menurut Ferry, hal itu juga tidak masuk akal sebab diceritakan kadar CO2 tinggi.

"Perbedaan siang malam yang ekstrem itu mungkin terjadi kalau tidak ada efek rumah kaca. Kalau kadar CO2 tinggi itu tidak mungkin terjadi," jelas Pak Ferry.


Pak Ferry M. Simatupang, S.Si., M.Si. pada Acara  
The 4th Southeast Asia Astronomy Network Meeting 


Mungkinkah manusia benar-benar meninggalkan Bumi? 

Optimistisnya, mungkin. Bumi mungkin bukan planet eksklusif yang bisa mendukung kehidupan. Tetapi, untuk mewujudkan mimpi itu jadi nyata, masih perlu waktu sangat lama.

Pak Ferry mengungkapkan, "Pencarian planet-planet yang mirip Bumi terus dilakukan. Sampai saat ini sudah 10 planet mirip Bumi yang ditemukan."

Jumlah tersebut memang sedikit. Tetapi, jika hanya sekadar menemukan planet mirip Bumi dengan observasi jarak jauh, dalam waktu 10 tahun lagi, kandidat planet yang mendukung kehidupan akan bertambah.

"Namun, itu masih kandidat. Untuk tahu pasti apakah planet itu bisa mendukung kehidupan, harus dilakukan pengamatan secara langsung," kata Pak Ferry.

"Untuk itu, perlu dukungan teknologi perjalanan antariksa. Hasil pengamatan jarak jauh dengan jarak dekat bisa berbeda. Kita harus tahu suhu, permukaan planet dan sebagainya," sambungnya.

Dengan krisis ekonomi akhir-akhir ini, dipastikan misi menjelajah antariksa menemukan tempat tinggal baru akan mengalami hambatan.

"Masalah utama yang ada pada saat ini, belum ditemukan planet lain yang benar-benar bisa mendukung kehidupan. Jadi, jawaban apakah (mimpi tinggal di planet lain) terwujud atau tidak, jawabannya antara ya dan tidak," ungkap Ma'rufin.

Jika memang nanti ada planet baru yang dinyatakan bisa mendukung kehidupan, manusia juga tak langsung bisa menghuni, harus melakukan proses terraforming terlebih dahulu.

Satu-satunya planet yang dianggap layak ditinggali (selain Bumi) hanyalah Mars. Itu pun harus melalui proses terraforming dulu, selama sekitar seabad lamanya."


Penulis Bersama Pak Ferry M. Simatupang Makan Malam Bersama: 
Terlihat beliau sedang memikirkan sesuatu he.,he.,he,.


Terraforming adalah penciptaan kondisi sehingga mirip Bumi dalam hal komposisi udara, pencahayaan Matahari, dan pengaturan kelembaban udara. Udara Mars 95 persen karbon dioksida, harus ada penambahan 20 persen oksigen.

Untuk menciptakan kondisi itu, diperlukan teknologi yang mampu bekerja seperti tanaman dalam berfotosintesis. 

Pak Ferry mengungkapkan, manusia boleh bermimpi tinggal di luar angkasa, tetapi waktu yang dibutuhkan masih sangat lama. Sementara jika manusia tak berhati-hati, kerusakan Bumi hingga menjadi lingkungan yang tak layak dihuni bisa berlangsung dalam waktu puluhan tahun.

"Jadi, manusia tak punya pilihan lain sekarang kecuali menjaga Bumi yang dimiliki," ungkap Pak Ferry.

Mari Kita Kembangkan IPTEK Antariksa dan Jaga Selalu Bumi Kita ini.

Kunjungi Juga:

Indonesian Space Sciences & Technology School

Indonesian University Space Research Association


Ucapan Terima Kasih:

Kepada Keluarga Besar UKK Cakrawala HMF FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia
Departemen Astronomi ITB, dan
Bpk. Judhistira Aria Utama, S.Si., M.Si.
[Dosen Astrofisika Pendidikan Fisika FPMIPA UPI dan kandidat Doktor Astronomi]

Sumber:

After Earth

Kompas Sains

Sumber foto: 4th SEAAN

Semoga Bermanfaat

No comments: