Thursday 6 June 2013

Suryalaya: Tempat Terbitnya Sang Mentari

Pepeling Kesling Ponpes Darul Huda Pamoyanan:
"Lamun Leuweung Ruksak, Kaina Beak, Caina Sa'at Ngoletrak, Runtah Pabalatak, Dahareun Inumeun Kimia Kabeh, Pasti Anak Incu Balangsak, Bakal Madarat." 


Allhamdulilah hari ini dapat mengunjungi Pondok Pesantren Suryalaya yang terkenal itu, sembari menghadiri Walimatul Ursy seorang sahabat. Bersama teman-teman yang lain kami mendapat kesempatan melihat-lihat kompleks pendidikan pondok pesantren Suryalaya.

Sejarah

Pondok Pesantren Suryalaya dirintis oleh Syaikh Abdullah bin Nur Muhammad atau yang dikenal dengan panggilan Abah Sepuh, pada masa perintisannya banyak mengalami hambatan dan rintangan, baik dari pemerintah kolonial Belanda maupun dari masyarakat sekitar.

Juga lingkungan alam (geografis) yang cukup menyulitkan. Namun Alhamdullilah, dengan izin Allah SWT dan juga atas restu dari guru beliau, Syaikh Tholhah bin Talabudin Kalisapu Cirebon semua itu dapat dilalui dengan selamat. 

Hingga pada tanggal 7 Rajab 1323 H atau 5 September 1905, Syaikh Abdullah bin Nur Muhammad dapat mendirikan sebuah pesantren walaupun dengan modal awal sebuah mesjid yang terletak di kampung Godebag, desa Tanjung Kerta. 

Pondok Pesantren Suryalaya itu sendiri diambil dari istilah sunda yaitu:
Surya = Matahari, Laya = Tempat Terbit.

Jadi Suryalaya secara harfiah mengandung arti tempat matahari terbit.

Pada masa kepemimpinan Abah Anom, Pondok Pesantren Suryalaya berperan aktif dalam kegiatan Keagamaan, Sosial, Pendidikan, Pertanian, Kesehatan, Lingkungan Hidup, dan Kenegaraan.

Pesantren Tradisional dan Pendidikan Kita

Pesantren Tradisional adalah jenis pesantren yang mempertahankan kemurnian identitas asli sebagai tempat mendalami ilmu-ilmu agama (Tafaqquh fi-I-din) bagi para santrinya. Semua materi yang diajarkan dipesantren ini sepenuhnya bersifat keagamaan yg bersumber dari kitab-kitab berbahasa arab (kitab kuning) yang ditulis oleh para ulama’ abad pertengahan. 

Dalam perspektif pendidikan Islam Indonesia ada yang menyebutkan bahwa pendidikan pondok pesantren tradisional berposisi sebagai sub ordinat yg bergerak pada wilayah dan domaian pendidikan hati yg lbh menekankan pada aspek “afektif pendidikan “ atau “atticude pendidikan”. 

Namun sebagian yang lain menyebutkan pendidikan pesantren merupakan bagian tak terpisahkan dari pendidikan nasional yg memberikan pencerahan bagi peserta didik secara integral baik kognitif (knowlagde) afektif (attitude) maupun psikomotorik (skill).

Pesantren Modern

Menurut Prof. Dr. H. Udin Saripudin Winataputra, M.A. dalam makalahnya yang berjudul Implementasi Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Karakter (Konsep, Kebijakan, dan Kerangka Programatik): “karakter kita maknai sebagai kualitas pribadi yang baik, dalam arti tahu kebaikan, mau berbuat baik, dan nyata berprilaku baik, yang secara koheren.memancar sebagai hasil dari olah pikir, olah hati, oleh raga, dan olah rasa dan karsa”.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian Pendidikan Indonesia mengaartikan Pendidikan Berkarakter bangsa “Pendidikan budaya dan karakter bangsa dimaknai sebagai pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada diri peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya,menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat, dan warganegara yang religius, nasionalis, produktif dan kreatif”

Nilai-nilai yang terdapat dalam pendidikan berkarakter bangsa adalah sebagai berikut; Religius, Jujur, Toleransi, Disiplin, Kerja Keras, Kreatif, Mandiri, Demokratis, Rasa Ingin Tahu, Semangat Kebangsaan, Cinta Tanah Air, Menghargai Prestasi, Bersahabat/Komunikatif, Cinta Damai, Gemar Membaca, Peduli Lingkungan, Peduli Sosial, Tanggung Jawab.

Kurikulum Pendidikan di pesantren modern memadukan pendidikan formal dilaksanakan sesuai dengan standar nasional pendidikan yang ada, dengan kurikulum keagamaan yang terintegrasi didalamnya pendidikan karakter. Nilai-nilai yang diajarkan di pesantren modern dalam rangka pembentukan pribadi yang matang pada hakikatnya bermuara kepada seluruh nilai-nilai pada pendidikan berkarakter bangsa, adapun dasar nilai-nilai yang diimplementasikan di pesantren modern tertuang pada Panca Jiwa pondok pesantren modern antara lain:

1. Keikhlasan; mengerjakan suatu kebaikan semata-mata untuk ibadah tanpa mengharapkan balasan

2. Kesederhanaan; bukan diartikan menerima apa adanya, kesederhanaan disini mengandung unsur kekuatan atau ketabahan hati, penguasaan diri dalam menghadapi perjuangan hidup dengan segala kesulitan, Dan dari kesederhanaan inilah maka akan terpancar jiwa besar, berani maju terus dalam menghadapi perjuangan hidup dan pantang mundur dalam segala keadaan berkehidupan.

3. Berdikari; sikap kemandirian, kreatif dan tidak bergantung pada orang lain

4. Ukhuwah Islamiyah; suasana kebersamaan berlandaskan demokrasi, peraudaraan yang akrab berlandaskan pada nilai-nilai ajaran agama islam yang damai

5. Kebebasan; bebas berfikir, bebas berkreasi, bebas berpendapat,dan bebeas berkeinginan sesuai dengan ajaran agama islam.

Harmonisasi dan Integrasi IPTEKS Terhadap Pendidikan Pesantren



KETERPADUAN AYAT KAULIYAH DAN KAUNIYAH

Para ilmuwan Muslim memimpikan pupusnya dikotomi antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu empiris. Sebab, tradisi Eropa yang telah memisahkan sains dari agama yang sebelumnya padu di tangan saintis Muslim di Abad Pertengahan adalah alasan utama untuk itu. 

Setelah empirisme yang dimulai oleh Roger Bacon dan Robert Grosseteste dari Oxford menjadi ikon kuat di Eropa pada awal abad ke-12 kemudian menjadi lebih populer di tangan Francis Bacon melalui karyanya yang terkenal Novum Organum dan New Atlantis yang tidak lain diilhami tradisi ilmiah Islam, maka genderang revolusi ilmiah dan spesialisasi ilmu menjadi trend ilmiah. 

Setelah itu yang terjadi adalah pemisahan antara ilmu-ilmu alam yang berbasis metode eksperimental dengan filsafat alam, yang berbasis metode rasional-spekulatif. 

Dinding-dinding antar disiplin ilmu pun makin tinggi dibangun, yang baru kemudian runtuh di abad moderen ini, dengan berfusinya beberapa disiplin ilmu untuk membentuk disiplin baru. Bersama pengalaman pahit inkuisisi agamawan Eropa atas ilmuwan di abad tengah, maka ketegangan dan keterpisahan ilmu dan agama semakin jauh. 

Dua medan pertentangan ilmu-agama yang layak dicatat adalah masalah penciptaan dalam evolusi Darwin dan dalam kosmologi khususnya teori Steady State Universe (Keith Wilks, 1982). Dengan evolusi biologisnya Darwin secara tidak langsung menolak penciptaan manusia sempurna melalui Adam dan Hawa. 

Sementara teori “Jagad Raya Ajeg” yang dipelopori Bondi, Gold dan Hoyle berhipotesis bahwa ruang sebesar Stadion Utama Senayan di alam semesta mampu menciptakan satu inti atom hidrogen setiap 100 tahun. 

Alam kekal, karena ruang berkemampuan menciptakan materi dan galaksi, bukan sebab-sebab metafisis lainnya (Baca: Tuhan Yang Mahakuasa, Allah SWT). Bahkan fisika secara umum, bergerak hanya pada penjelasan-penjelasan material dan menolak penjelasan metafisis, yang dikokohkan dengan hukum “kekekalan materi”. 

Artinya, secara substansial antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu empiris memang berbeda, dan sulit disatukan. Secara ontologis obyek kajian ilmu-ilmu agama adalah risalah kenabian (ayat kauliyah), sedang ilmu-ilmu empiris adalah manusia dan alam (ayat kauniyah). 

Secara epistemologis, basis ilmu-ilmu agama adalah metode tekstual, sementara untuk ilmu eksakta adalah metode rasional-eksperimental. Hanya keyakinan bahwa sumber ilmu itu satu baik ayat kauliyah maupun ayat kauniyah yang datangnya dari Allah SWT dan mesti berujung pada pencerahan dan pengamalan sebagai bukti prilaku hamba yang saleh (baca: ibadah), maka ilmu agama dan ilmu empiris mesti dipandang sebagai suatu yang padu, tanpa pertentangan dan dikotomi. 

Persoalan ini sebenarnya cukup klasik. Teori “kebenaran ganda”, yang digaungkan Siger Brabant tokoh Averoisme latin yang dianggap berasal dari Ibnu Rusyd, menyatakan bahwa kesimpulan-kesimpulan akal budi murni dapat berbenturan dengan kebenaran wahyu (W. Montgomery Watt,1995). Namun menurutnya, kedua kebenaran itu harus diterima. 

Al-Ghazali dalam Tahafut al Falasifah atau Al Qardhawi dalam Al Qur’an dan As-sunnah Referensi Tertinggi Ummat Islam secara tegas menolak teori kebenaran ganda semacam itu. Kebenaran wahyu yang datangnya dari Allah SWT adalah kebenaran mutlak dan tertinggi, yang mengatasi kebenaran kognitif yang relatif. Dengan latar belakang ini, dapat difahami harapan agar ilmuwan Muslim dapat menguasai dan menjelaskan ilmu yang mereka kuasai dalam perspektif Islam, sehingga tidak terjadi split personality. 

Kajian membaca ayat-ayat Kauniyah, kita mesti memiliki spirit yang serupa. Kita menangkap kesan, bahwa tulisan ini akan berusaha membaca ulang ilmu-ilmu empiris (ayat-ayat kauniyah) dalam sinar keimanan, sehingga tidak terjadi pertentangan dalam pemahaman kaum Muslimin atas hakekat ilmu, bahkan yang terjadi adalah sinergi dan daya dorong positif agama atas ilmu di satu sisi (bayan), dan penjelasan empiris ilmu atas pernyataan wahyu di sisi lain (burhan).

MEMBANGUN PERADABAN INDONESIA MADANI DENGAN PENDIDIKAN TERPADU 

Dalam konteks Indonesia, Masyarakat Madani secara teoritis didefinisikan sebagai masyarakat berperadaban tinggi dan maju yang berbasiskan pada: nilai-nilai, norma, hukum, moral yang ditopang oleh keimanan; menghormati pluralitas; bersikap terbuka dan demokratis; dan bergotong royong menjaga kedaulatan negara, ditopang oleh pertumbuhan ekonomi yang konsisten dan perkembangan IPTEKS yang berkelanjutan.


Semoga Kita Semua diberikan Hidayah oleh-Nya.

Amin.

Waalohualambissawab.

No comments: