Friday 19 July 2013

Optimisme Berjamaah dan Visi Masyarakat Indonesia Berbasis Ilmu Pengetahuan

Optimisme, Modal Awal Perubahan 

Ketika republik ini ditegakkan, para pemimpin memiliki seluruh persyaratan untuk pesimistis. Kemiskinan, kebodohan, kekerasan, dan kekacauan hadir di mana-mana. 

Tapi mereka memilih optimistis. Mereka lipat-gandakan optimisme menjadi optimisme berjemaah. 

Kombinasi antara integritas tinggi para pemimpin dan optimisme yang solid menjadi penghela gerak republik ini ke depan. 

Sekarang kita punya banyak alasan untuk optimistis. Namun kita justru memilih membicarakan kegagalan. Akibatnya, republik ini dirundung pesimisme dan tekor optimisme.

Membangun Masyarakat Berbasis Ilmu Pengetahuan

Suatu masyarakat berbasis pengetahuan terbentuk paling sedikit oleh lima elemen dasar
(Lester C. Thurow,1999),yaitu: 

1. Penataan masyarakat.
2. Kewiraswastaan.
3. Pembentukan Pengetahuan.
4. Keterampilan.
5. Pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. 

Penataan masyarakat perlu dilakukan sebagai langkah untuk menyiapkan masyarakat sejahtera berbasis pengetahuan karena tanpa adanya masyarakat yang tertata secara sosial,maka elemen lainnya tidak akan mungkin akan dapat diciptakan. 

Penataan masyarakat haruslah meliputi peningkatan kualitas pendidikan dan mereformasi struktur organisasi masyarakat sehingga siap untuk menerima perubahan yang terjadi. 

Setelah dilakukan penataan masyarakat, barulah dilakukan pengembangan sektor ekonomi dengan mengoptimalisasi SDM potensial yang dimiliki negara tersebut. 

Setelah masyarakat atau sektor sosial berhasil ditata kembali, selanjutnya yang harus dikembangkan adalah sektor kewiraswastaan. 

Jiwa kewiraswastaan ini diperlukan untuk melihat berbagai kemungkinan bisnis dari teknologi baru, seperti e-commerce, dan siap memecahkan segala rintangan yang menghalangi terciptanya tatanan baru.

Jiwa kewiraswastaan juga memupuk mentalitas masyarakat untuk berani mengambil resiko.

Optimalisasi Media Sosial Sebagai Penyebar Pengetahuan

Media-media sosial semacam, Facebook, YouTube, Blog dan Twitter,  misalnya, dengan panjang maksimal 140 karakter, mustahil mewujudkannya secara komprehensif dan menggambarkan secara detail ilmu pengetahuan terapan.

Namun mereka unggul dalam kecepatan dan kemampuan mereplikasi pesan.

Di tengah banjir bandang informasi, makna penting bagi masyarakat terpelajar, intelektual muda, Mahasiswa dan media menjadi gate keeper, penjaga gawang.

Era digital harus dirayakan sebagai proyek demokratisasi informasi dan penyebar luasan ilmu pengetahuan.

Garis demarkasi antara produsen dan konsumen informasi tidak tegas.

Pelajar dan Mahasiswa bisa mengunggah tulisan mereka di blog-blog setiap saat.

Bersamaan dengan itu, muncul limbah informasi. Semua bisa memasok informasi, tak terkecuali akun-akun anonim. Urusan verifikasi seolah-olah menjadi masa lalu.

Kebencian dan prasangka meluncur tanpa hambatan.

Pelajar dan Media di sini bisa berperan menjadi filter dan verifikator.

Banjir bandang informasi juga memunculkan ekses pesimisme akut.

Banyak hal negatif muncul dalam cerita.

Tentu saja cerita negatif penting dikemukakan untuk kritik sosial ataupun “sanksi sosial” bagi pelaku.

Tapi di sini kita berbicara soal proporsi dan keseimbangan.

Sikap obyektif, dan keseimbangan, bisa menggelindingkan optimisme.

Walau kita mafhum, optimisme hanya “modal awal” yang mesti diikuti semangat melakukan perubahan, kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas dan pembaruan.

Optimisme, Modal Awal Perubahan.

Media-media sosial lahir sebagai anak kandung optimisme inovasi Ilmu pengetahuan dan Teknologi, menyebarkan inspirasi ke seluruh penjuru bumi dan negeri.

Apa usaha yang pernah Kita lakukan untuk menumbuhkan optimisme di masyarakat?

Sumber:

Indonesia Mengajar & Indonesia Turun Tangan.
Prof. Anies Baswedan, Ph.D.
Agus Rendi Wijaya

Semoga Bermanfaat

Indonesia Bisa!

No comments: