Tuesday 18 December 2012

Mengungkap Rahasia dan Misteri Angka-Angka dari Sudut Pandang Sains II

Astrofisika dan Desain Presisi Agung Penciptaan Alam Semesta




Fisika adalah ilmu yang mempelajari materi, energi dan interaksinya. Fisika terbagi menjadi dua jenis berdasarkan sifatnya, fisika teoritis dan fisika eksperimental. Kedua bidang ini saling berkaitan erat. Sebagai contoh, fisika teoritis menganalisa peristiwa pada saat big bang, fisika eksperimen akan merancang sebuah percobaan untuk meniru big bang seperti yang dilakukan di CERN dengan Large Hadron Collider. LHC berusaha mendekati saat-saat big bang dengan menabrakkan dua proton dari arah berlawanan sehingga kita dapat melihat apa yang muncul dari peristiwa yang secara alami, hanya terjadi sesaat setelah big bang terjadi.

Berdasarkan apa yang dipelajari, fisika terbagi atas begitu banyak cabang:

Kosmologi adalah fisika yang mempelajari asal usul alam semesta.
Astrofisika adalah fisika yang mempelajari bintang.
Meteorologi adalah fisika yang mempelajari cuaca dan iklim.
Termodinamika adalah fisika yang mempelajari energi panas.
Optik adalah fisika yang mempelajari cahaya dan warna
Fisika nuklir mempelajari materi atomik dan yang lebih kecil
Akustik mempelajari suara
Geofisika mempelajari material bumi
Statika mempelajari kesetimbangan massa
Dinamika mempelajari gaya-gaya yang berhubungan dengan gerak
Kinematika mempelajari gerak tanpa memandang gaya
Mekanika kuantum mempelajari fisika pada skala submikroskopis

Mekanika kuantum misalnya terdengar seperti sains fiksi. Perilaku alam semesta pada skala mikroskopis sungguh aneh dan sepenuhnya tidak sesuai dengan intuisi. Namun mekanika kuantum adalah teori paling teliti yang pernah dikembangkan dalam sains, karena mampu membuat prediksi dengan derajat ketepatan yang tidak pernah dibayangkan dalam sejarah manusia sebelumnya. 

Kadang kebenaran lebih aneh dari fiksi.

Fisikawan di dunia tidak puas hanya dengan asumsi sederhana agama mengenai mengapa alam semesta ada.?

Tapi, mereka mengabdikan miliaran dollar untuk mencari sebuah penjelasan rasional dan ilmiah. Mereka mungkin akan atau tidak akan pernah menemukannya. Namun kita telah menemukan penjelasan ilmiah mengenai moralitas dan kerumitan alam. 

Kita tidak mendapat apa-apa dari pernyataan kalau sesuatu itu ada diluar jangkauan fisika. Kita sungguh tidak tahu apakah jangkauan itu terbatas atau tidak.

Reduksionisme, Prinsip Antropik, dan Sains yang Relijius
 
Di hadapan saya terhampar dua artikel ilmiah populer tulisan dua peraih Nobel fisika terkenal, Steven Weinberg dan Frank Wilczek. 

Dengan menggunakan perumpamaan: 

“Apa yang  akan terjadi seandainya  muatan elektron sedikit lebih kecil dari nilai semestinya.?”

Dalam hati Saya jawab: 

"Sangat dramatis, tidak akan ada atom, molekul, kehidupan, bahkan planet dan galaksi seperti yang kita kenal saat ini."

Kedua fisikawan besar ini membahas kemandegan pengembangan teori superstring, teori yang dipercaya banyak ilmuwan sebagai kandidat Teori Segalanya (Theory of Everything atau TOE). Weinberg adalah salah seorang peraih Nobel untuk perumusan Model Standar (bersama Abdus Salam  dan  Sheldon  Glashow),  suatu  model  yang  menghimpun  sekumpulan  persamaan matematis yang menjelaskan semua gaya yang dikenal manusia, kecuali gaya gravitasi.

Frank Wilczek memperoleh Nobel fisika tahun 2004 untuk jasanya memecahkan masalah pelik dalam teori Kromodinamika Kuantum, teori yang menjelaskan mengapa zarah terkecil yang diesbut quark tidak pernah lepas dari proton atau netron.

Dari  pengalamannya,  Weinberg  merasa  perkembangan  fisika  saat  ini  sedang  mengalami semacam titik balik (turning point) karena kemandegan yang terjadi telah memberi angin segar pada  Prinsip  Antropik  sebagai  alternatif  penjelasan  hakiki  fenomena  alam  dari  skala femtoskopik (ukuran zarah 10^-15 m) hingga makroskopik (ukuran jagat raya). 

Berbeda dengan tradisi yang  selama  ini  berlaku  di  ranah  fisika  teori,  Prinsip  Antropik  sangat  mengedepankan pengamat,  dalam  hal  ini  agen  intelektual,  sebagai  agen  penting  yang  menentukan  proses sekaligus hasil akhir dari fenomena fisika.

Sementara itu, Frank Wilczek menggaris bawahi beberapa faktor yang menumbuhkan keraguan pada fisikawan tentang keberadaan garis finish dari upaya ratusan tahun pencarian persamaan matematika terakhir yang dapat menjelaskan segalanya.

Pada dasarnya faktor-faktor tersebut muncul  secara  alami  sebagai  konsekuensi  pengembangan  teori  fisika  yang  selalu  bersifat parsial.  Titik-titik  keberhasilan  menyebar  di  beberapa  tempat,  namun  upaya  untuk menghubungkan titik-titik tersebut menjadi kesuksesan akbar tampaknya mustahil dilakukan saat ini.

Wilczek  menganggap  bahwa Prinsip Antropik yang  berbau relijius tersebut relatif alami.

Baik Wilczek maupun Weinberg sepakat untuk tetap “membuka hati” terhadap prinsip ini sebagai salah satu alternatif jalan keluar kemandegan, meski mereka memiliki cara pandang berbeda.

Reduksionisme dan Teori Superstring

Reduksionisme merupakan aliran yang memandang bahwa sistem kompleks di alam ini dapat direduksi menjadi  sistem-sistem yang  lebih  sederhana atau  malahan  menjadi  sistem paling fundamental. Ide ini pertamakali diperkenalkan oleh Descartes di awal abad ke 17 dan telah menjadi bagian integral dari prinsip pengembangan sains selama hampir empat abad. Meski saat itu  Descartes  menempatkan  manusia  pada  posisi  holistik,  ide  reduksionisme  kini  telah berkembang jauh dan bahkan telah menampik campur tangan supranatural dalam penjelasan fenomena-fenomena alamiah.

Reduksionisme  dianggap  sebagian  ilmuwan  dapat  menyatukan  semua  sisi  sains.  Secara sederhana dapat dikatakan bahwa fenomena kimia dapat dijelaskan oleh hukum-hukum fisika, fenomena di bidang biologi dijelaskan oleh reaksi-reaksi kimia, psikologi dapat dijabarkan oleh biologi, sosiologi didasarkan pada psikologi, dan seterusnya.

Di dalam fisika, pertanyaan paling hakiki yang ingin dijawab adalah: seperti apa bahan dasar (building block) penyusun jagat raya ini, serta bagaimana cara mereka berinteraksi. Selama ratusan tahun pertanyaan ini telah dicoba untuk dijawab.

Semula diduga bahwa elektron, proton, dan netron merupakan zarah-zarah terkecil yang dicari ilmuwan. Namun, dengan ditemukannya akselerator-akselerator modern, diperoleh ratusan zarah yang jelas menunjukkan bahwa mereka bukanlah bahan dasar yang dicari. Pada tahun 60an diperkenalkan zarah hipotetik (semata-mata hipotesis) yang disebut  quark.

Melalui konsep ini jumlah zarah dapat direduksi secara dramatis menjadi enam quark serta beberapa lepton dan zarah-zarah tera.  Tentu saja pencapaian ini belum memuaskan hati para ilmuwan.

Di sektor  interaksi  antar  zarah,  gaya  listrik  dan  magnet  telah  lebih  dahulu  direduksi  oleh Maxwell menjadi gaya elektromagnetik. Salam dan Weinberg selanjutnya menggabungkan gaya ini dengan gaya nuklir lemah menjadi apa yang disebut sebagai gaya elektrolemah. Selanjutnya, dalam Model Standar gaya nuklir kuat dapat juga diperhitungkan.

Tinggalah gaya gravitasi yang masih sulit untuk dijelaskan, meski gaya ini sangat dikenal dalam kehidupan sehari-hari. Pada era 70an teori supergravity diduga dapat menyelesaikan masalah ini. Namun ide ini segera tergantikan oleh ide superstring yang dipopulerkan oleh fisikawan John Schwarz dan Michael Green.

Formulasi  matematikanya  yang  sangat rumit  diselesaikan  oleh  fisikawan  matematis Edward Witten dari Universitas Princeton.

Sekitar tahun 1984 konfirmasi besar-besaran terhadap kesuksesan teori ini berdatangan. Ide ini dengan cepat merambat ke seluruh dunia karena isu yang menyertainya tidak lain adalah Teori Segalanya. Bahkan para pendukung teori ini memperkenalkan kalender baru; tahun 1984 adalah tahun ke nol, tahun penemuan terpenting setelah mekanika kuantum.

Teori superstring merupakan sebuah proposal yang mendasarkan fisika pada kawat (string) dua dimensi yang bergetar pada ruang-waktu berdimensi sepuluh. Keenam dimensinya melengkung dan kemungkinan berukuran sangat kecil sehingga kita hanya dapat merasakan empat dimensi ruang-waktu. Mode-mode getaran kawat ini menghasilkan semua zarah yang teramati dalam eksperimen.  Selain itu, teori ini berhasil menyatukan keempat gaya di dalam alam, karena medan gravitasi secara alami muncul di dalam teori tersebut.  

Kritik Terhadap Teori Superstring 

Dibalik semua kesuksesannya, teori  superstring mengalami masalah serius. Teori ini belum dapat dianggap sebagai teori ilmiah jika kita menggunakan standar Karl Popper!  Pertama,  teori  ini  melibatkan  persamaan-persamaan  matematika  yang  sangat  kompleks, sehingga  solusi  realistik  sangat  sulit  diperoleh.  Kedua,  energi  yang  diperlukan  untuk membuktikan kebenaran teori ini terlalu tinggi, jauh di luar kemampuan ummat manusia saat ini dan kemungkinan besar juga di masa mendatang. Ketiga, baru-baru ini ditemukan bahwa teori superstring dapat memiliki solusi luar biasa banyak.  Diperkirakan  jumlahnya  berorde 10^100 (sepuluh  pangkat  seratus)  hingga  10^500  (sepuluh  pangkat  lima  ratus).  

Leonard  Susskind menyebut solusi ini sebagai bentangan string (string landscape). Solusi yang berbeda dapat menghasilkan jagat raya berbeda, sehingga muncul kemungkinan multi jagat raya (multiverse). Keempat, karena teori ini (jika benar ada) secara virtual dapat menjelaskan “segalanya”, teori superstring tidak dapat difalsifikasi, salah satu kriteria dasar teori ilmiah yang pernah diajukan Popper dan masih dianut hingga kini.

Dalam buku terbarunya yang berjudul The Trouble with Physics: the Rise of String Theory, the Fall of a Science, and What Comes Next, fisikawan Lee Smolin dengan keras mengkritik teori superstring sebagai teori yang telah gagal menghasilkan ramalan-ramalan yang dapat diperiksa oleh  eksperimen.  Bahkan,  beberapa  pendukung  teori  ini  telah  berusaha  untuk  mengubah paradigma yang berlaku di dalam sains dengan menganggap bahwa teori ini tidak perlu melalui pengujian ilmiah.  

Smolin mencatat, problem utama teori  superstring adalah kenyataan bahwa teori ini belum tergolong  teori  yang  baik,  bahkan  semata-mata  merupakan  program  penelitian  bercakupan lebar. Akibatnya, apa yang dihasilkan tidak lain adalah aproksimasi serta dugaan (konjektur). Bagi Smolin, selama belum terbukti, penyatuan gravitasi dengan ketiga gaya lainnya merupakan dugaan semata. 

Yang  paling  parah  adalah  propaganda  para  teoretikus  superstring yang  menganggap  studi alternatif terhadap teori ini tidak berguna dan secara arogan menggunakan istilah “Popperazzi” pada siapa saja yang kritis terhadap superstring. Dengan asumsi bahwa teori ini selalu benar, superstring telah mendominasi penerimaan staf akademis di banyak institusi selama lebih dari 30  tahun,  meski  selama  itu  ia  tidak  mampu  menghadirkan  sekeping  prediksi  yang  dapat diperiksa oleh eksperimen. 

Prinsip Antropik

Di dalam kosmologi prinsip antropik pertama kali dipakai oleh Brandon Carter pada simposium bertema  “Konfrontasi  Teori-teori  Kosmologi  dengan  Data  Pengamatan”  pada  tahun  1973. Meski ada beberapa varian, secara umum prinsip ini menyatakan bahwa nilai-nilai parameter fisika  dan  kosmologi  yang  teramati  dibatasi  oleh  kebutuhan  bagi  eksistensi  si  pengamat.

Dengan  kata  lain,  jagat  raya  harus  memiliki  kondisi  yang  memungkinkan  berkembangnya kesadaran intelektual yang dapat mengamatinya.  Prinsip antropik  telah  dicoba  diterapkan  pada beberapa bidang  yang  masih  menjadi  bahan perdebatan seperti mekanika kuantum, teori inflasi Big Bang, dan teori  superstring.

Karena sifat  inherennya,  prinsip  antropik  membutuhkan  “variasi”  disekitar  apa  yang  “teramati”. Akibatnya, prinsip ini melahirkan konsep-konsep spektakuler yang lebih dekat dengan fiksi ketimbang ilmiah, misalnya konsep multi jagat raya.

Namun karena konsep ini juga muncul pada teori  superstring dan mekanika kuantum, prinsip antropik menjadi bahan perdebatan di komunitas  ilmiah,  meski  jurnal-jurnal  ilmiah  ternama  seperti  Astrophysics  Journal semula menolak menerbitkan riset di bidang ini.

Kegagalan Reduksionisme dan Kemenangan Prinsip Antropik

Selain  kelemahan  teori  superstring,  Wilczek  juga  mencatat  beberapa  hal  yang  menambah keraguan fisikawan terhadap eksistensi Teori Segalanya. Hukum-hukum fisika dikenal bersifat universal, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Jadi, jika teori tersebut benar-benar ada, maka ia akan berlaku kapan dan di mana saja.

Namun beberapa fakta berikut sangat mengganggu: Pertama,  medium  kosmik  kebanyakan  diisi  oleh  ruang  hampa  (vacuum). 

Namun  vacuum sendiri bukanlah tempat yang sunyi dari hingar-bingarnya proses fisika. Sejak ditemukannya antizarah, vacuum dikenal sebagai medium yang dinamis, penuh dengan kesibukan penciptaan dan  pemusnahan  pasangan  zarah-antizarah,  medan-medan  symmetry-breaking,  serta  zarah virtual lainnya. Medium material yang kita kenal sehari-hari dalam fisika zat padat memiliki fase berbeda-beda serta mengandung cacat dan inhomogenitas. Mengapa hal ini tidak mungkin terjadi pada medium kosmik?

Kedua, dalam mekanika kuantum fungsi gelombang suatu objek umumnya menggambarkan beberapa sifat berbeda dengan peluang berhingga. Mengapa hal ini tidak mungkin untuk fungsi gelombang jagat raya? Ketiga, dalam teori Big Bang jagat raya diawali oleh ledakan tunggal singular (singular di sini berarti bahwa, kecuali ukuran spasial, semua kuantitas menuju tak berhingga pada saat ledakan) yang sifat-sifat alaminya tidak begitu diketahui.

Mengapa ledakan ini tidak mungkin terjadi berkali-kali dan dalam bentuk berbeda-beda?



Jika  diamati  secara  seksama,  terungkap  bahwa  parameter-parameter  fisika  fundamental memiliki nilai yang rumit. Contohnya, muatan elektron yang bernilai –1,602176462 x 10^-19 Coulomb  atau  massa  elektron  yang  nilainya  9,10938188  x  10^-31  kilogram.  Rasanya  sangat mustahil  jika  semua  nilai-nilai  semacam  ini  dapat  dihasilkan  dari  satu  teori  tunggal  yang sederhana.

Namun yang paling mengganggu adalah fakta bahwa nilai-nilai parameter tersebut seolah-olah ditala secara halus (fine-tuned) pada nilai-nilai tertentu yang memungkinkan berkembangnya kehidupan  diiringi  kesadaran  intelektual  yang  pada  akhirnya  dapat  menyadari  eksistensi parameter tersebut.

Seandainya saja  elektron sedikit lebih ringan, maka elektron dan proton dalam atom akan bergabung menjadi netron (plus neutrino).

Alam semesta yang melulu berisi netron tentu saja tidak dapat menyangga reaksi kimia yang mendukung kehidupan. Sebaliknya jika massa netron sedikit lebih ringan, deuterium tidak akan terbentuk, reaksi fusi pada bintang tidak akan menghasilkan energi pendukung kehidupan yang kita kenal saat ini.

Penalaan-halus (fine-tuning) nilai-nilai parameter fisika merupakan salah satu argumen teologi dari kekuatan supranatural pencipta jagat raya. Menurut argumen ini pencipta jagat raya menala secara hati-hati nilai-nilai parameter yang dibutuhkan oleh hukum alam, atau, hukum alam didisain  secara hati-hati untuk  memiliki  solusi unik dengan  nilai-nilai parameter  yang  kini teramati oleh ummat manusia.

Dalam biologi, argumen analog adalah seleksi alamiah dalam teori evolusi Darwin. Semua kehidupan di atas bumi berusaha untuk beradaptasi dengan nilai-nilai parameter yang sudah ditentukan. Hanya mereka yang mampu beradaptasi akan tetap survive.  Dalam bidang kimia, pertanyaan paling fundamental, yaitu mengapa keberadaan atom-atom tertentu seperti Hidrogen begitu berlimpah di jagat raya ini dibandingkan dengan atom-atom lain, jelas dapat dengan mudah dijawab oleh prinsip penalaan-halus ini.

Problem bentangan string (String Landscape) juga dapat diselesaikan. Melalui seleksi alamiah hanya satu dari 10^500  solusi yang mampu untuk memunculkan pengamat yang dapat menyadari problem ini. Dengan kata lain, dari  10^500  jagat raya yang mungkin, hanya satu yang akhirnya muncul dengan kesadaran intelektual yang diperlukan.

Penalaan-halus yang dijelaskan di atas tentu saja merupakan konsep prinsip antropik. Meski demikian, perdebatan yang dipicu oleh konsep ini tidak seindah dan semudah itu.

Peraih Nobel fisika David Gross, misalnya,  menyatakan membenci prinsip ini. Baginya,  prinsip antropik merupakan  kemunduran  dalam sains, sementara  pendukungnya  ia anggap  sebagai ilmuwan yang terlalu cepat menyerah dalam mengejar cita-cita awal sains.

Cukup banyak ilmuwan yang menganggap prinsip antropik jauh dari sains karena tidak dapat difalsifikasi. Steven Weinberg menampik relasi antara prinsip antropik dengan keyakinan relijius. Baginya sudah jelas bahwa adaptasi mahluk hidup dengan lingkungannya merupakan satu proses yang sangat alamiah. Analog untuk seleksi terhadap bentangan string.

Dibalik ini semua, debat tentang eksistensi multi jagat raya (yang merupakan konsekuensi alami problem bentangan string) mungkin yang paling menarik. Jika terbukti eksis, maka menurut Weinberg ada empat penjelasan mengapa jagat-jagat raya lainnya  belum atau bahkan tidak dapat diamati, yaitu mungkin jagat-jagat raya tersebut terletak di lokasi yang berbeda, di erayang berbeda, di ruang-waktu (empat dimensi) yang berbeda, atau di ruang Hilbert (kuantum) yang berbeda. Keyakinan fisikawan juga bervariasi, bahkan ada beberapa yang sangat fanatik.

Ambil contoh Martin Rees dan Andrei Linde yang terkenal kontribusinya dalam teori inflasi jagat  raya.  Bagi  Rees,  ia  sangat  yakin  adanya  multi  jagat  raya.  Untuk  itu,  ia  berani mempertaruhkan  anjing  kesayangannya.  Andrei Linde lebih  ekstrim lagi.  Ia bahkan  berani mempertaruhkan seluruh hidupnya untuk keyakinan ini.

Sementara, bagi Weinberg, keyakinan terhadap multi jagat raya membuatnya hanya berani mempertaruhkan kehidupan Linde dan anjing kesayangan Rees saja!

Walohualambissawab.


Dari Berbagai Sumber.



Penulis, Ilmuwan muda dan Kang Iqbal Robiyana, S.Pd. mengikuti kuliah umum CERN and its Particle Physics Programme dengan Narasumber Kak Suharyo, Ph.D. Satu-satunya Ilmuwan Indonesia yang bekerja di CERN  dan Professor Emmanuel Tsesmelis currently heads the CERN Directorate Office, which plays a key advisory and support role for the Director-General and Senior Management and Professor of Physics at The University of Oxford.


Ucapan Terima Kasih Kepada:

Kak Handhika Satrio Ramadhan, M.Sc., Ph.D. Ahli Kosmologi termuda di Indonesia lulusan Tufts University, USA., Kang Anton Timur J., S.Si., Mahasiswa Pascasarjana S2 di Jurusan Astronomi ITB Konsetrasi Kosmologi, Kang Iqbal Robiyana, S.Pd. Pendidikan Fisika FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia dan Guru Fisika di Darul Qur'an International School.
 

Juga kepada:

Prof. Dr. rer. nat. Terry Mart,

is a member of the teaching and research staff at Departemen Fisika, FMIPA, Universitas Indonesia, since 1990. He was born in Palembang on March 3, 1965. He received his sarjana degree from Universitas Indonesia in 1988 with cum-laude.

In 1996 he received Doctor rerum naturalium (Doctor of sciences) from Universitaet Mainz, Germany, also with cum-laude. Between 1997 and 2000 he spent his post doctoral research time mostly at the Departement of Physics, the George Washington University, Washington DC, USA, Department of Physics and Science Simulation Center, the Okayama University of Sciences, Okayama, Japan, and the Institut fur Kernphysik, University of Mainz, Germany.

His current research interests are electromagnetic production of strangeness on nucleons and nuclei, properties of nucleon resonances, production of hypertriton and heavier hypernuclei, and properties of the neutron star matter.


Semoga Bermanfaat dan Tetap Semangat

No comments: