“Bisakah orang Indonesia meraih hadiah Nobel?”
He studied chemistry at the Technische Hochschule, receiving his diploma in 1960.
He stayed, and did research into using crystallography to elucidate the structure of organic compounds.
In 1971 he became a director at the Max Planck Institute for Biochemistry where his team developed methods for the crystallography of proteins. In 1988 he received the Nobel Prize for Chemistry jointly with Johann Deisenhofer and Hartmut Michel.
Pertanyaan ini mirip judul buku yang sedikit provokatif yang ditulis Prof. Kishore Mahbubani, Can Asians think?
Pertanyaan ini memang terasa merendahkan bagi bangsa-bangsa Asia dan dunia ketiga termasuk Indonesia. Mahbubani sendiri adalah orang Asia.
Tetapi paparannya akan membuat orang Asia dan semua orang berpikir lebih baik. Pertanyaan yang sama pantas ditujukan kepada kita bangsa Indonesia yang tengah membangun dalam segala bidang.
"Bisakah orang Indonesia berpikir?"
Rasanya terlalu "ketus" untuk judul tulisan ini.
Berpikir menyelesaikan soal ujian akan sangat berbeda dengan proses berpikir dalam arti sesungguhnya untuk menyelesaikan persoalan hidup. Mental seperti ini hanya akan tumbuh dari didikan alam untuk mandiri dalam menghadapi segala macam tantangan hidup sejak seseorang masih kecil. Budaya berpikir ilmiah adalah budaya hidup mandiri.
Orang yang tidak terbiasa mandiri akan cenderung menempuh jalan short cut. Mereka adalah orang-orang yang terbiasa "disuapi" dengan layanan baik dari orang lain maupun dari alam di mana dia tinggal.
Langkah pertama untuk meraih hadiah Nobel adalah memang berpikir yang benar.
Apabila kita tidak bisa berpikir dengan benar, janganlah kita bermimpi untuk bisa meraih suatu penghargaan, apalagi meraih hadiah Nobel.
Saya tidak akan berbicara tentang bagaimana meraih hadiah Nobel.
Saya hanya ingin mengatakan bahwa aktivitas riset untuk menghasilkan sesuatu yang berarti, apalagi agar bisa meraih hadiah Nobel, hasil riset tersebut harus memiliki pengaruh/impact yang nyata dalam kehidupan sosial dan ekonomi kita, sekecil apapun pengaruh itu.
Pertama, Sebuah invensi yang baik biasanya berasal dari sebuah serendipitas dan keuletan dalam menekuni proses berpikir ilmiah untuk menyelesaikan persoalan dalam dunia nyata.
Kata serendipitas berasal dari kata bahasa Inggris serendipity yang berarti mental atau karakter yang bisa merasakan "kenikmatan" yang tidak ternilai harganya saat melakukan penemuan yang tidak terduga-duga.
Kenikmatan seperti ini hanya dirasakan oleh orang yang menjadikan hidupnya senantiasa penuh dengan aktifitas berpikir (reasoning) dan dzikir (learning).
Orang yang mempunyai jiwa serendipitas adalah orang menjadikan laboratorium (lab) sebagai hidupnya dan hidupnya adalah lab. Lab adalah ajang berpikir dengan segala bentuk dan kondisi fisiknya, tidak terbatas pada lab dalam arti yang sebenarnya.
Seperti yang dikatakan Newton:
“Cara terbaik untuk menjadi seorang ilmuwan yang baik, anda harus berpikir tentang itu sepanjang waktu, baik di waktu anda bangun maupun di waktu anda tidur.”
Sebuah penemuan yang baik pasti berasal dari sebuah budaya berpikir yang baik. Kita harus membangun sebuah lingkungan untuk menumbuh suburkan budaya riset di masyarakat kita.
Kompetisi dan forum-forum ilmiah adalah kesempatan yang baik untuk membangun lingkungan seperti itu. Para ilmuwan atau peneliti biasanya lebih termotivasi dengan berkompetisi dan lebih terinspirasi dengan saling bertukar pendapat di dalam forum ilmiah.
Karena itu kita harus mendorong agar para ilmuwan dan peneliti kita bisa berpartisipasi sebanyak mungkin dalam acara-acara ilmiah internasional.
Hal yang kedua adalah impak sosial dan ekonomi dari sebuah penemuan atau invensi. Di sini saya ingin menekankan tentang pemanfaatan atau pendayagunaan sebuah penemuan.
Ada proses yang panjang antara sebuah penemuan sampai munculnya impak ekonomi dan sosial dari penemuan tersebut.
Proses ini meliputi proof-of-concept atau uji kelayakan di tingkat laboratorium, komersialisasi sampai akhirnya terjadi adopsi yang meluas terhadap hasil penemuan itu.
Akan memerlukan waktu bertahun-tahun untuk dihasilkannya sebuah produk komersial dari sebuah penemuan, dan bahkan mungkin akan memerlukan puluhan tahun lagi agar produk itu memiliki impak secara sosial dan ekonomi. Saat itulah, sebuah invensi berubah menjadi sebuah inovasi.
Agar sebuah penelitian menghasilkan impak sosial dan ekonomi, maka penelitian itu harus menjawab sesuatu. Penelitian itu harus memberikan kontribusi kepada pemecahan masalah, apakah itu permasalahan ilmiah ataupun permasalahan nyata di masyarakat atau di dalam sebuah proses ekonomi.
Untuk menjamin tersedianya solusi ilmiah dari setiap permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat kita, maka harus ada upaya yang berkesinambungan dalam aktivitas penelitian dan pengembangan.
Upaya yang kontinyu dan berkesinambungan ini akan membangun sebuah akumulasi pengetahuan dan know-how yang akan mengantarkan kita kepada solusi substantif dari permasalahan-permasalahan yang ada di masyarakat.
Sebuah break-through atau penemuan besar yang dapat menyelesaikan permasalahan besar, sehingga layak untuk mendapatkan hadiah Nobel, hanya akan muncul dari pengetahuan dan know-how yang terakumulasi.
Karena itulah, upaya kontinyu dan berkesinambungan dalam kegiatan penelitian dan pengembangan, harus tersambung dengan upaya kita untuk mendayagunakan pengetahuan dan know-how yang kita miliki. Apabila pengetahuan yang dihasilkan dari penelitian ilmiah itu tidak didayagunakan, maka semua upaya penelitian kita tidak akan berkesinambungan.
Karena itulah, upaya kontinyu dan berkesinambungan dalam kegiatan penelitian dan pengembangan, harus tersambung dengan upaya kita untuk mendayagunakan pengetahuan dan know-how yang kita miliki. Apabila pengetahuan yang dihasilkan dari penelitian ilmiah itu tidak didayagunakan, maka semua upaya penelitian kita tidak akan berkesinambungan.
Pemecahan masalah muncul dari inovasi, dan apa yang tidak didayagunakan bukanlah sebuah inovasi, jadi tidak memberikan solusi apa-apa.
Misalnya Kementerian Riset dan Teknologi dan Kemendikbud telah menjadikan prioritas untuk meningkatkan pendayagunaan iptek di masyarakat melalui berbagai upaya untuk menjembatani kesenjangan pengetahuan antara perguruan tinggi dan lembaga litbang di satu sisi, dengan masyarakat di sisi lain, guna mempromosikan siklus pengembangan akumulasi pengetahuan dan pendayagunaannya.
Saya sangat memahami bahwa meniti karir ilmiah, khusunya untuk peneliti muda dan cemerlang, di negara berkembang seperti Indonesia, tidaklah mudah.
Dituntut motivasi, disiplin dan komitmen profesional yang kuat. Tetapi saya juga meyakini bahwa ilmuwan muda Indonesia sama pandainya, sama bersemangatnya, juga tentu sama kreatif dan inovatifnya dengan ilmuwan-ilmuwan di luar negeri.
Terutama di era informasi global seperti sekarang ini, kita mengenal perumpamaan the world is flat. Seorang mahasiswa di sini, di Bandung, dapat memiliki kesempatan yang sama dengan rekannya di belahan dunia mana pun, untuk dapat mengakses ilmu pengetahuan global yang diperlukannya untuk meniti karir ilmiahnya.
Karena itu, akumulasi pengetahuan seharusnya tidak dibatasi kepada akumulasi di dalam sebuah individu atau sebuah masyarakat atau perusahaan yang tertutup.
Akumulasi pengetahuan dapat terjadi melalui jaringan pengetahuan global.
Dunia kita hari ini sudah lebih terbuka daripada sebelum-sebelumnya. Setiap orang dapat mengakses ilmu pengetahuan global yang sudah terakumulasi oleh ummat manusia selama berabad-abad, dan setiap dari kita dapat memanfaatkannya sesuai dengan kepentingan kita masing-masing.
Apa yang diperlukan adalah komunikasi, pembangunan jaringan dan kolaborasi, untuk menutup jurang pemisah ilmu pengetahuan dan untuk menjembatani keterpisahan informasi, hal yang sudah menjadi lebih biasa sekarang ini daripada di masa lampau, dikarenakan kemajuan teknologi komunikasi global.
Karena itu saya percaya bahwa ilmuwan-ilmuwan muda Indonesia memiliki kesempatan yang lebih banyak sekarang ini untuk dapat berpartisipasi langsung dalam berbagai aktivitas penelitian kelas dunia, meskipun mereka berada di Indonesia.
Jadi bukanlah sebuah angan-angan muluk bagi seorang ilmuwan Indonesia untuk bisa menjalankan sebuah penelitian yang layak mendapatkan hadiah Nobel.
Tentu kita mengharapkan hal ini suatu saat akan betul-betul terjadi.
Mengenal Riset Unggulan Terpadu
Mengenal Riset Unggulan Terpadu
Secara umum RUT mencakup tiga program IPTEK, yaitu program teknologi yg bersifat generik (TG), ilmu pengetahuan terapan (IPT), dan ilmu Pengetahuan dasar (IPD).
Diantaranya ada beberapa bidang.
1. Bidang Bioteknologi
2. Bidang Dinamika/Perubahan Sosial
3. Elektronika dan Informatika
4. Ilmu bahan/material baru
5. Ilmu kimia dan proses
6. Rancang Bangun
7. IPTEK Energi
8. IPTEK hasil pertanian (perikanan, perkebunan, kehutanan dsb.)
9. IPTEK Kedokteran/Kesehatan
10. IPTEK Perlindungan Lingkungan
11. Teknologi Pendidikan.
Sumber:
1. Arip Nurahman Notes
2. Kemendikbud
3. Kemenristek
Semoga Bermanfaat.
Diantaranya ada beberapa bidang.
1. Bidang Bioteknologi
2. Bidang Dinamika/Perubahan Sosial
3. Elektronika dan Informatika
4. Ilmu bahan/material baru
5. Ilmu kimia dan proses
6. Rancang Bangun
7. IPTEK Energi
8. IPTEK hasil pertanian (perikanan, perkebunan, kehutanan dsb.)
9. IPTEK Kedokteran/Kesehatan
10. IPTEK Perlindungan Lingkungan
11. Teknologi Pendidikan.
Sumber:
1. Arip Nurahman Notes
2. Kemendikbud
3. Kemenristek
Semoga Bermanfaat.
No comments:
Post a Comment